Kamis, 22 November 2012

Food Miles for eco-partial, iklan Layanan Masyarakat DNPI vs Kementan




Food Miles for eco-partial
iklan Layanan Masyarakat DNPI vs Kementan







Anjuran pemerintah agar pemakaian energi adalah lestari, dalam bentuk iklan, dibuka dengan diskusi soal borosnya energi yang digunakan untyuk mengangkut buah jeruk impor asal China diperbandujingkan dengan buah jeruk asal Pontianak Kalimantan Barat...

Dalam konteks pangan, cara pandang ini disebut dengan: Food  Miles (pangan bertempuh-jauh).. Itulah Iklan Layanan Masyarakat dari Dewan Nasional Perubahan Iklim.

'Tuk beda kepentingan pemerintah Iklan Layanan Masyarakat Kementerian Pertanian malahan sangat membanggakan ekspor produk sayuran dan buah-buahan ke Jepang, Timur Tengah... dst. Kalau tidak ekspor, maka bukan kebanggaan(?)

Nah, jika dipersandingkan, masing-masing mengusung kepentingan nasional, ya.... Dewan Nasional Perubahan Iklim: Jeruk Pontianak dibandingkan dengan jeruk impor asal China... Sedangkan Kementerian Pertanian:... Endak'lah... sayuran sudah kita ekspor ke... Jepang, Timur Tengah...

Lalu, dapatkah dikatakan: Jangan konsumsi pangan impor. tetapi marilah kita ekspor(?) pangan... Jangan impor buah (dari China) untuk hemat energi, dan tidak semakin membanyak gas buang dari sarana transportasi yang pada gilirannya memperparah gas rumah kaca, tetapi: "Sorry, ya, dengan konsep dan etos food miles, kita lanjutkan ekspor buah dan sayuran ke mancanegara..."

Aneh? Lucu? Begitukah?

eco-partial? Bukan... Ego-parsial, kata yang cocok, 'kale?

Nah, bagi promotor yang ambisi ekspor pangan organik? Silahkan bandingkan pula dengan pernyataan saya, ketika mengulas Kegagalan Go Organic 2010, lihat:

Jumat, 01 Oktober 2010. GO Organic 2010 failed, GO Organic 2010 Gagal
(...)
Berandai-andai lagi… Ekspor pangan organik? Sebagian realitas, ternyata masih mengandalkan lagi model VOC alias ekpor bahan mentah seperti jaman kolonial? Model ini, ternyata, masih berlangsung (Tjahjadi 2009). Ekspor pangan organik mengekor saja kepada “abang kandungnya tapi beda ibu”, yaitu ekspor komoditas hasil bumi semata-mata tanpa olah (raw materials)... Padahal ekspor hasil bumi pertanian konvensional saja sudah dikritik oleh Prof. Mochammad Maksum (2010). Tujuan ekspor? Masuk ke wilayah perdagangan ke Utara dengan rasa bangga? Mungkinkah model VOC ini akan memberikan siginifikansi terhadap neraca perdagangan Indonesia dan Uni Eropa, atau neraca perdagangan Indonesia dan Jepang?

Lalu selayaknya juga dipertanyakan, apakah penggagas Go Organic 2010 sudah mengkalkulasi adanya persoalan etos “food miles atau “Long trade routes” yang berkembang di Utara? Di sana sudah banyak kalangan masyarakat yang mengadopsi “food miles” sebagai pola anutan konsumsi pangan - yang sudah disebarkan oleh penganjur pangan organik kepada konsumen sejak tahun 2000-an (Lang, 2004: Food Wars: The Global Battle for Mouths). Atau, mari kita “cuekin” saja karena sudah muncul jawabannya bahwa ”food miles” dikatakan sebagai ”naïve method” oleh Capper et all (Demystifying The Environmental Sustainability of Food Production. Cornell Nutrition Conference, 2009).

Sekadar pengingat, silahkan baca juga pernyataan Posisi Jaker PO (2009) (…) 6) Keharusan melindungi Keanekaragam Hayati dan Kesehatan Ekosistem
Semua pangan yang sehat dan sistem-sistem pertanian adalah sepenuhnya bergantung kepada perlindungan terhadap dunia yang alami, dengan semua keberanekaragamannya. Kami memandang tak boleh adanya pertimbangan komersial dan perdagangan yang mengabaikan hal itu. Prinsip ini adalah mengindahkan kaidah menjaga jarak transportasi yang relatif pendek bagi bahan pangan dari sumbernya hingga ke piring makan (distance of food travels from farm to our plate) guna memperkecil peluang tercemarnya bahan pangan bagi kesehatan manusia maupun penambahan polusi udara, serta pencemaran lainnya bagi lingkungan hidup (Jaker PO, 2009).

http://biotaniindonesia.blogspot.com/2010/10/go-organic-2010-failed-go-organic-2010.html



Riza V. Tjahjadi

biotani@gmail.com



-o0o-






Arsip Blog