Populisme Trump adalah semakin meluasnya proteksi selektif Amerika Serikat
Oleh: riza V. Tjahjadi
Simak, nih:
[E]very decision on trade, on taxes, on immigration, on foreign affairs will be made to benefit American workers and American families. We must protect our borders from the ravages of other countries making our products, stealing our companies and destroying our jobs.
(APPLAUSE)
Protection will lead to great prosperity and strength. I will fight for you with every breath in my body and I will never ever let you down.
(APPLAUSE)
America will start winning again, winning like never before.
(APPLAUSE)
We will bring back our jobs. We will bring back our borders. We will bring back our wealth. And we will bring back our dreams.
(APPLAUSE)
We will build new roads and highways and bridges and airports and tunnels and railways all across our wonderful nation. We will get our people off of welfare and back to work, rebuilding our country with American hands and American labor.
(APPLAUSE)
We will follow two simple rules; buy American and hire American.
and so on
Itu adalah petikan pidato Donald Trump dalam pelantikannya sebagai presiden Amerika Serikat 20 Januari silam.
Angin populisme yang dihembuskan Trump selama kampanyenya sebagai calon presiden seakan memupus teori sepeda. Muncul istilah baru yaitu populisme, yang pada pokoknya pemerintah berhubungan langsung dengan rakyatnya tanpa (terlampau) indahkan lembaga-lembaga politik tetapi tidak aspiratif yang dapat akibatkan hubungan pemerintah dan rakyatnya tidak mulus-lancar.
Tapi.... eeiiitttt.... jan takecuaahhhh... jangan terkecoh, ya... Ini adalah membangun model proteksionisme, sekalugus monopoli gaya baru, atau proteksionisme selektif yang diperluas. Simak uraian saya:
Tetapi di balik - apa yang disebut dengan - populisme akan jalan beriringan adalah adanya kemunculan kembali motif proteksionisme dalam perdagangan yang mengabaikan ujaran: "Kayuhlah terus pedal sepedamu. Jangan berhenti, karena jika anda berhenti mengayuh pedal sepeda, maka anda akan jatuh." Jatuh... Dan jika itu terjadi maka yang muncul adalah proteksionisme, karena liberalisasi perdagangan barang dan jasa harus terus berlangsung, sebagaimana yang dipraktekkan pemerintah Amerika menganut teori kayuh sepedanya Fred Bergsten (1973). Nyatanya?
Negosiasi dalam WTO malah mandeg, mati suri sejak tahun 2003 pada negosiasi Putaran Doha hingga akhirnya diupayakan untuk hidup kembali pada era Presiden SBY, dengan konferensi di Bali tahun 2013. Nyatanya, figur WTO tidak menakutkan lagi... Justru karena banyak negara sudah menikmati era liberalisasi perdagangan, dan jasa, maka terasa menyentak ketika Presiden Amrik Donald Trump memaklumatkan pengutamaan keuntungan maupun manfaat langsung bagi orang Amerika, dan negaranya - dengan yang istilah yang diklaim banyak analis sebagai pendekatan populisme.
Faisal Basri pada peringatan HUT Indemo 17 tahun dan Peristiwa Malari 1974 memaparkan ia bahkan memakai pendekatan kaidah Pendulum untuk mengilustrasikan mimpi populismenyaTrump dengan perlindungan (secara langsung) bagi Amerika Serikat. Tidak ada bumper atau pengganjal dalam hal pendekatan proteksionismenya Trump. Pendulum untuk menyeimbangkan gerak ke kanan atau ke kiri, karena jika gerakan terlalu menjauh maka akhirnya akan muncul keseimbangan bak gerak bandul. Itu pendekatan sah saja Faisal Basri mengemukakan teori pendulum. Karena ia tidak mengaitkan gerak proteksionisme Trump dengan teori sepedanya Fred Bergsten (1973).
Liberalisasi - proteksionis terbatas
Liberalisasi perdagangan itu nyaris omong kosong, karena nyatanya model yang dibangun dengan tangan-tangan yang kasat mata (visible hands) ini sebagaimana kata Dunkley dalam bukunya yang saya sunting (Tjahjadi, 2001) mengurai cakupan dari kelanjutan dari proteksionis selektif.
Pandangan dari kelompok-kelompok tersebut tentang Putaran Uruguay dan perdagangan bebas sangat banyak dan bervariasi, tetapi termasuk kepedulian bahwa: rejim tarif baru akan meneruskan proteksi selektif untuk Dunia Pertama sedangkan pembukaan Dunia Kedua dan Ketiga untuk TNC Barat yang mengusulkan ‘reformasi’ pertanian akan memberi sedikit peluang ekspor untuk Dunia Ketiga tetapi akan meningkatkan ketergantungan impor pangan bagi banyak negara; subsidi baru, anti-damping dan ketentuan TRIM akan sangat mengurangi kemampuan pemerintah untuk menggunakan kebijakan industri yang konstruktif; restrukturisasi industri akan memberi pengaruh buruk pada perempuan dan banyak kelompok sosial yang lemah, sehingga akan sangat meningkatkan ketidak adilan yang telah ada; TRIPs akan sangat menguntungkan TNC Dunia Pertama dan memberdayakan mereka untuk mengeksploitasi secara tidak adil sumberdaya dan pengetahuan dasar tradisional masyarakat Dunia Ketiga, GATT akan memfasilitasi pembanjiran negara-negara Dunia Ketiga dengan jasa komersil bergaya Barat; ketentuan harmonisasi akan menurunkan standar tenaga kerja, lingkungan dan hak asasi manusia menjadi yang paling rendah; sistem WTO yang baru akan bersifat rahasia, tidak demokrasi, birokrasi, pro-Barat dan didominasi oleh orang-orang dengan sudut pandang ekonomi yang sempit.
Lebih umumnya, dikhawatirkan bahwa perdagangan bebas dan investasi akan meningkatkan gaya materialistik dari pembangunan, memberdayakan TNC untuk mendominasi dunia, mempercepat swastanisasi dan ‘marketisasi’, menguruskan pemerintah nasional, menghancurkan masyarakat, menghalangi pilihan pembangunan alternatif, memfasilitasi monopoli dari pandangan dunia tertentu dan membanjiri masyarakat tradisional dengan budaya hedonistik dari Barat.Pada sisi lain, lebih luas daripada sekadar cakupan perdagngan, maka terlihat juga bahwa pandangan Fukuyama sudah semakin tidak populer dengan (teori) akhir dari sejarah (End of History, 1990). Kasus 911 atau penghancuran menara kembar di New York oleh Alqaeda adalah salah satu perontok tesis Francis Fukuyama. Maksudnya, dalam konteks ini ialah munculnya kembali nilai-nilai yang dikelompokkan sebagai ideologis. Populisme akankah berbenturan dengan (kelompok pengusung) ideologis? Itu akan tampak dengan berjalannya waktu.
Tangerang, 28 Januari 2017
Lampiran
Situasi proses liberalisasi perdagangan dan jasa, terkait dengan resistensi soal pangan dan pertanian; cikal-bakal mandegnya negosiasi di WTO.
Simaklah:
Andalkan Perdagangan Bebas Bagi Ketahanan Pangan Global,
Bumerang..!
oleh: Riza V. Tjahjadi
<><><><><><><><><><><><><><><><>
Pencantuman perdagangan sebagai unsur kunci (Komitmen 4) dalam Deklarasi Roma 2002 mengenai Ketahanan pangan merupakan salah satu puncak kontroversi dalam masyarakat dunia. Perdagangan bebas versus ketahanan pangan, maupun liberalisasi perdagangan sebagai instrumen bagi tercapainya ketahanan pangan merupakan hal yang tidak masuk logika etis bagi ornop/ masyarakat madani bagi masyarakat dunia. Hal ini sudah tampak pada arena, dan auranya sejak Agustus tahun silam dalam persiapan hingga dalam Pertemuan Puncak Pangan Dunia Lima Tahun Kemudian (World Food Summit: 5yl) Organisasi pangan Dunia (FAO) di Roma Italia pada awal Juni 2002. Tentangan ini hingga kini masih berlanjut diwacanai di berbagai penjuru, sementara di Indonesia proses sosialisasi Deklarasi Roma 2002 tengah berlangsung pula.
Bagi publik di Indonesia tentangan itu rasanya muncul dadakan, bagaikan mengisi ruang yang semula tampak kosong dalam tatapan masyarakat dunia. Nah, ini dia... tema baru: perdagangan bebas akan meruyak ketahanan pangan. Marilah, kita advokasikan..! Hal nyaris serupa terpapar pula dalam arena menjelang Pertemuan Puncak Pembangunan Berkelanjutan Dunia (WSSD) minggu mendatang di Johannesburg Afrika Selatan, kendatipun rumusannya berbeda, yaitu Partnership.
Sebenarnya, bagi kita jika mau kritis dan jeli menelusuri ke belakang - lantaran kita belum cukup intens bergabung dalam gerakan sosial global - maka tentangan itu bukanlah hal yang baru. Kenapa?
Perdagangan bebas, yang diasumsikan akan menggasak masyarakat yang belum maju, akan semakin tersisih dalam pemanfaat arus globalisasi, karenanya perlu diantisipasi dengan ketahanan yang paling memadai bagi keberlanjutan masyarakat tersebut. Ketahanan yang paling pokok itu ialah pangan. Sementara bagi penganut paham perdagangan bebas, maka kebutuhan akan ketahan pangan dapat diselesaikan dengan semakin berperannya perdagangan bebas mendunia. Karena kunci ketahanan pangan yang dapat diperluas partisipasinya bagi para pemain yang berpengaruh, ialah dengan melakukan reformasi pasar: agar dapat memajukan unsur ketersediaan dengan distribusi yang stabil.
Lembaran sejarah beberapa tahun silam, sebenarnya sudah mencatat, bahwa para penganut perdagangan bebas sudah mendesakkan urgensinya perdagangan, bagi kemajuan dunia, termasuk juga pemenuhan ketahanan pangan - dengan konsep self reliance. Ada ekspor sehingga menghasilkan devisa negara, maka pangan dapat dibeli dari mana pun.
Jocelyn Cajiuat (2001) mencatat: "Semenjak dimulainya negosiasi dalam Putaran Uruguay dari GATT pada tahun 1986 masyarakat madani telah menentang pemerintah (Filipina) guna menyetujui bersama dengan Kelompok Cairns untuk mencakup pula pertanian ke dalam GATT. Dewasa ini asumsi dan solusi dari badan-badan internasional (FAO, WTO, Bank Dunia) ialah memastikan ketahanan pangan melalui reformasi pasar dan liberalisasi perdagangan. Hal ini perlu dilakukan tinjauan kritis dan penjelasan yang terinci."
Kekuatiran ini, terbukti, yaitu alam perdagangan bebas menjadi andalan, dalam arena internasional manapun. Artinya, pandangan bahwa perdagangan bebas akan mampu mengatasi segala-galanya – meskipun suka dan tidak suka semakin kentara pada negara-negara di dunia ini - sudah menjadi hitam-putih persetujuan warga dunia.
Khusus di Indonesia pernah cukup banter diwartakan pada awal dekade 1990-an konsep on-trend self sufficiency yang dipromosikan oleh Bulog. Maknanya, ada kelebihan beras diekspor, dan bila terjadi kekurangan maka dilakukan impor beras. Konsep ini nyaris paralel dengan konsep self-reliance dari penganut paham perdagangan bebas.
Selang beberapa tahun kemudian, dunia mencatat bahwa kelaparan di dunia harus dapat dipangkas separuhnya pada tahun 2015. Tak pelak instrumen penting sebagai pemangkas kelaparan dunia adalah perdagangan - yang tentu saja berpaham bebas. Ini, misalnya tertuang dalam Deklarasi Roma tahun 1996.
Mungkin saja secara nakal dapat dipertanyakan, liberalisasi perdagangan yang masih balita belum mampukah menjadi instrumen utama bagi upaya terpangkasnya kelaparan di dunia. Namun apa yang terjadi lima tahun kemudian setelah pertemuan puncak pangan?
Penjajakan mengenai situasi ketahanan pangan dunia yang dilakukan oleh badan-badan internasional, jika dikombinasikan, mengindikasikan, bahwa lebih dari 800 juta jiwa (792 juta jiwa di negara berkembang, dan 34 juta jiwa di negara maju) masih menderita kekurangan gizi dalam periode 1996 hingga 1998. Mayoritas mereka yang kekurangan gizi itu terdapat di Asia dan Pasifik (515,2 juta jiwa). Negara-negara seperti Korea Utara mencapai lebih dari separuh (57%), Mongolia (45%), Kamboja (33%), Laos (29%), Bangladesh (38%) dan Nepal (28%). Sementara itu jumlah tertinggi terdapat di Cina, yang mencapai 11% dari total populasi sebanyak 1.244,1 milyar pada tahun 1997. Data FAO lainnya (2001) menunjukkan angka tertinggi kekurangan gizi sebesar 36% bagi Asia (Asia Timur dan Asia Selatan) disusul oleh Sub-Sahara Afrika 34%. Kekurangan gizi pada periode 1996-1998 di kawasan Asia Tenggara dengan populasi 491,3 juta jiwa tercatat proporsinya sebesar 13%, sedangkan Indonesia dengan populasi hampir separuhnya, 203,4 juta jiwa sebanyak 6%. Asia Tenggara dan Indonesia mengalami penurunan, yaitu semula 18%, dan 10% pada periode 1990-1992.
Kanak-kanak di Asia yang kondisi berat badannya kurang tercatat, selama 20 tahun pada tahun 1980 hingga 2000, tertinggi dengan jumlah 108 juta jiwa (44%) meskipun mengalami penurunan yang sebelumnya tercatat sebanyak 146 juta jiwa. Amerika Latin dan Karibia mengalami penurunan pula, yaitu 3 juta jiwa (6%) semula 7 juta jiwa (14%). Tetapi Afrika mengalami peningkatan Afrika 38 juta jiwa (29%) semula 22 juta jiwa (29%).
Lembaga-lembaga keuangan internasional dan pemerintah negara-negara maju berargumen bahwa ketersediaan pangan adalah inti permasalahan ketahanan pangan dunia, dan dengan gampangnya menambahkan argumen bahwa solusinya adalah membangun sistem distribusi yang berfungsi baik, yaitu melalui pasar. Fokus argumen demikian ialah mempersilahkan perdagangan global dalam pangan butiran yang akan merawat kelaparan dunia.
Ketersediaan pangan merujuk kepada berbagai kemungkinan entah memberikan makan dirinya sendiri secara langsung dari hasil lahannya atau sumberdaya alam, atau distribusi yang berjalan baik, pengolahan dan sistem pasar yang dapat mengerakkan pangan dari lahan produksi ke mana pun yang membutuhkan berdasarkan permintaan.
Masalah ketersediaan pangan dapat diatasi jika pasokan pangan secara global adalah lebih dari berkecukupan untuk memasok bagi setiap orang dengan cukup pangan manakala pangan didistribusikan berdasarkan kebutuhan gizinya. Ini jelas menunjukkan bahwa pasar yang lebih bebas dan akses pasar yang lebih besar bagi negara-negara berkembang yang kurang mampu melakukan efisiensi merupakan pemecahan yang terbaik terhadap kekurangan gizi dan kelaparan.
Tetapi tanpa suara kritis dan desakan dari masyarakat madani, demikian asumsi Jocelyin Cajiuat (2001), maka pertemuan puncak pangan telah berubah semata-mata menjadi forum para penganut perdagangan bebas guna melegitimasikan bahkan lebih merasionalkan liberalisasi perdagangan dalam pertanian. Ia menambahkan, jika makalah dan deklarasi ornop/masyarakat madani disampaikan kepada FAO, maka hal itu hanya dipandang sebagai alternatif belaka. Sayangnya, ketika WFS: fyl berlangsung bulan Juni silam amat merosot jumlah ornop yang hadir dibandingkan dengan WFS tahun 1996 silam. Sebaliknya yang lebih menonjol – sebagai posisi yang dominan - dalam pandangan banyak ornop, ialah wakil pemerintah, dan lembaga keuangan internasional dan kalangan bisnis semakin mempromosikan perdagangan global sebagai solusi.
Di balik itu, lembaran sejarah dunia menunjukkan tafsiran pula bahwa dominannya alam pikiran perdagangan bebas itu sendiri - meskipun didukung pula oleh bantuan lembaga "bantuan" internasional – ternyata, sekaligus memupus harapan terpangkasnya kelaparan.
Dalam WFS: fyl, dan deklarasinya, terungkap bahwa perhitungan sebesar 60% target yang ditetapkan pada tahun 1996 gagal tercapai. Bahkan dewasa ini kondisi dunia bertambah buruk. Namun, lagi-lagi, perdagangan bebas diunggulkan sebagai salah satu instrumen utama lagi. Instrumen lainnya, ialah pemakaian benih transgenik. Lalu.., apakah alam pikiran mengenai perdagangan bebas inikah yang yang akan kita utak-atik lagi sebagai unggulan pada sekian tahun mendatang guna menghadirkan satu deklarasi yang lebih baru, dan lebih baru lagi? Sementara itu komitmen negara-negara maju untuk menyediakan dana bagi ketahanan pangan dunia, semakin memudar, terkecuali swastanisasi. Hal ini semakin jelas pula dalam Deklarasi Roma 2002, dan juga pada naskah-naskah utama WSSD di Johannesburg Afrika Selatan.
Jika kita asumsikan bahwa perdagangan bebas itu sama artinya dengan perluasan dagang perusahaan besar negara maju (Utara), sehingga sering disebut sebagai corporate-driven globalisation, maka masyarakat dunia sama saja memperpanjang hidup paham globalisasi itu, meskipun asumsi itu adalah palsu atau sudah lebih dari setengah tidak benar. Bukti empiris dapat kita tatap dengan mudah.
Lalu, apa lagi yang hendak dikatakan oleh Indonesia, sebagai anggota Cairns Group, yang dalam Putaran Uruguay, yang telah menyetujui masuknya pertanian ke dalam Persetujuan mengenai WTO? Meskipun krisis multi dimensional sejak 1997, proses liberalisasi perdagangan sudah merupakan kepatutan yang perlu diikuti, sementara itu ketersediaan beberapa pengecualian (exemptions) dalam persetujuan itu seolah tidak diperlukan. Namun, nyatanya Indonesia merupakan pasar globalisasi, entah itu damping (gandum, dan tepung terigu), entah itu produk-produk buatan Cina, beras, dan gula. Hanya saja hingga kini belum terdengar adanya pengakuan rasa bersalah, bahwa kita belum banyak memetik manfaat dari perdagangan bebas bagi produk pertanian.
Bagaimanapun ornop, akademisi, pembuat kebijakan lokal, dan lebih-lebih lagi petani maupun penduduk di pedesaan sudah semestinya menyikapi secara kritis terhadap alam pikiran dominan dalam masyarakat dunia.
Kita ingat masih ingat Menteri Pertanian Bungaran Saragih mendesak terciptanya perdagangan yang adil, meskipun disadari berat nian meningkatkan daya saing yang efisien. Ornop dan masyarakat madani peduli pangan dan reforma agraria di Indonesia - sebagaimana telah dirumuskan secara internasional - mempernyaring tuntutan pengakuan politik adanya kedaulatan pangan. Di Jerman, akademisi penganut neoliberal sudah menginsafi perlunya katup pengaman - ketahanan pangan - dalam rejim perdagangan bebas ala WTO. Kini, bagi masyarakat Indonesia perlu memahami instrumen lainnya, dalam Deklarasi Roma 2002, yaitu hak asazi manusia, yang sudah harus tersedia dalam dua tahun mendatang, agar dapat turut memantau upaya-upaya pencapaian ketahanan pangan nasional dan bagi keluarganya.
Jakarta, 19 Agustus 2002.
Riza V. Tjahjadi
Koordinator PAN (Pesticide Action Network) Indonesia, anggota dan salah satu pendiri SEA Council for Food Security and Fair Trade, pernah menjadi tuan rumah bagi Fact Finding Mission on Food Crisis in Indonesia Februari 1999, menulis pantauan terhadap Persetujuan mengenai Pertanian (Agreement on Agriculture) WTO dan dampaknya di Indonesia. dan pengamat WFS: fyl di FAO Roma Italia, 7-13 Juni 2002.
<><><><><><><><><><><><><><><>
SUARA PEMBARUAN DAILY
AFTA Perburuk Ketimpangan Ekonomi Indonesia
JAKARTA - Kawasan perdagangan bebas ASEAN (AFTA) hanya memperburuk ketimpangan ekonomi Indonesia dengan negara-negara di ASEAN. Kompetisi antaranggota AFTA perlu dikembangkan menjadi kolaboratif perwilayahan untuk menghadapi pangsa pasar di luar ASEAN.
Demikian disampaikan Koordinator Pesticide Action Network (PAN) Indonesia Riza V Tjahjadi di Jakarta, Rabu (8/1) dalam diskusi Proyeksi Ekonomi Nasional di era AFTA.
Menurut Riza, keberadaan AFTA sebagai bagian dari liberalisasi dunia lebih banyak menguntungkan negara-negara maju. Untuk itu, konsep AFTA dan mekanisme pendukung harus diubah menjadi kolaborasi wilayah untuk mencegah kompetisi antaranggota ASEAN.
Hal itu dapat dilakukan melalui penyatuan unit-unit komoditas, khususnya pertanian, yang sejenis untuk mengembangkan pasar di luar ASEAN. Dengan demikian perlu dilakukan desain ulang terhadap keberadaan AFTA dengan melihat dampak globalisasi yang semakin kuat.
Gagasan tersebut, katanya, perlu didukung dengan kontribusi masyarakat untuk lebih meningkatkan solidaritas ASEAN. Hal itu penting agar ASEAN mampu bertahan dalam arus utama perdagangan liberal yang sangat dominan.
Sementara itu, pengamat etika dari Universitas Atmajaya menilai dalam kemampuan ekonomi yang tidak sama maka AFTA hanya menambah ketimpangan ekonomi regional. Kondisi tersebut semakin memperparah kemiskinan yang ada dan diperlukan perlakukan khusus sesuai mekanisme AFTA untuk mengurangi ketidakadilan yang semakin besar.
"AFTA merupakan bagian dari globalisasi dunia dan perlu dikritisi secara cermat tentang dampaknya pada ketidakadilan ekonomi. Kemiskinan semakin lebar dan kesejahteraan semakin jauh dari harapan," ujar mantan Menteri Negara Lingkungan Hidup ini.
Sejalan dengan itu, pemerintah perlu merumuskan secara jelas dan terencana kebijakan-kebijakan sehingga tidak merugikan rakyat dalam praktek liberalisasi tersebut. Kebijakan domestik perlu dibenahi dengan mengurangi kolusi, korupsi dan praktek nepotisme.
Namun demikian, lanjutnya, keberadaan AFTA perlu diambil hikmahnya untuk membenahi struktural kelembagaan yang ada agar tidak tenggelam dalam ketimpangan tersebut. Jika tidak dilakukan maka secara ekonomi Indonesia akan kembali terjajah. (H-12)
Last modified: 9/1/2003
EPA RI-Japan, exclude Rice, Woods, Fisheries but Possible Develop Nuclear Reactor Will be signed July 2005
By Riza V. Tjahjadi
June 17, 2005
Indonesia and Jepang agreed on two economic cooperation projects, which are essentially boosting trade and investment to be materialized in an Economic Partnership Agreement (EPA) and Stragegic Investment Action Plan (SIAP).
The two forms of economic cooperation had been reached in a memorandum of understanding signed by President Susilo Bambang Yudhoyono and Japanese Prime Minister Junichiro Koizumi at the premier`s residence in Tokyo on June 3, 2005.
In their Joint Statement on the EPA, the two leaders agreed to hold negotiations aimed at boosting trade cooperation by opening their markets.
Regarding the MoU on the SIAP, the two countries agreed to seek new initiatives in increasing foreign investment, especially from Japan with a view to reducing the poverty rate and creating employment opportunities.
SIAP, had been prepared by a Private Sector Joint Forum on December 19, 2004 in Jakarta, following a meeting of President Yudhoyono with PM Koizumi in Santiago, Chile, in November 2004.
With regard to the EPA, the President said, the two countries will discuss in greater detail matters relating to cooperation in trade liberalization, increasing laws and cooperation in specific products of the two countries.
Under the EPA, Indonesia may provide a number of incentives for Japanese businessmen seeking to invest in the country; in return, Indonesia expects Japan to lift trade barriers which have hampered trade between the two countries.
Indonesia and Japan also reached agreement for more constructive, flexible and positive negotiations on sensitive sectors like problems on farm products in Japan.
Indonesia and Japan have agreed slash import duty regularly in the next 5-10 years. However, rice, woods and fisheries is classified into sensitive list products, as said by Trade minister Mari E. Pangetu (06/10/2005).
Meanwhile with regard to SIAP, Japan also expressed agreement to increase its investment in Indonesia in the hope to double its investment to 20 billion US dollars in the next five years.
The Japan International Corporation Agency (JICA), Japan Bank for International Cooperation (JBIC), Japan External Trade Organization (Jetro), Nippon Kaidanren, Association of Japanese Businessmen, had also been called on to actively take part in persuading Japanese companies to invest in Indonesia.
If the EPA is agreed on, we will propose to the Indonesian government the possibility of a joint venture to establish a nuclear-power plant (in Jepara, Central Java; retrieving the controversy issue in 19990s), which I believe was halted six years ago due to the financial crisis and objections from local residents, as saying by Tadashi Okamura, president and chief executive officer of Japanese electronic and infrastructure giant Toshiba Corporation, and chairman of the Japan-Indonesia economic committee at the Nippon Keidanren..
Besides economic cooperation, President Yudhoyono and PM Koizumi also agreed to increase cooperation in maritime affairs and in overcoming the aftermath of natural disasters.
Meanwhile in the maritime sector, focus will be on cooperaiton in the eradication of crime in the Malacca strait, especially piracy.
With regard to cooperation in dealing with natural disasters, Indonesia and Jepang agreed to form a Joint Committee cochaired by Japanese State Minister of Natural Disastger Handling Yoshitaka Murata and Indonesian Coordinating Minister of Social Welfare Alwi Shihab.
The Joint Committee will have an exchange of knowledge and experience in the natural disasters which had occurred in Japan, and the experience will be used as consideration in preparations by Indonesia in facing future disasters.
Japan Investment in Indonesia
Compiled by:
Riza V. Tjahjadi
Biotani Indonesia Foundation
Jl. Persada Raya No. 1
Menteng Dalam
Jakarta 12870 Indonesia
Telp. +62-21-8296545
email: biotani@rad.net.id, biotani2004a@yahoo.com
appeared in
Opinions expressed in various sections are the sole responsibility of their authors and they may not represent Al-Jazeerah's.
editor@aljazeerah.info
Lihat juga:
http://www.slideshare.net/biotani/populisme-trump-adalah-semakin-meluasnya-proteksi-selektif-amerika-serikat
---o0o---