Perlindungan lingkungan dan kesehatan manusia dari racun kimia yang awet, bandel, persisten dan dapat lintas benua dampak resikonya tampak masih jauh dari ranah perundangan republik tercinta ini.
Kamis, 12 Feb 2009, beberapa ornop: ICEL, PAN Indonesia, Walhi, dan juga IFTN, Indonesia Free Toxic Network - dengan beberapa anggotanya - yang diundang rapat kerja dengan Komisi VII DPR RI untuk memberi masukan untuk Pengesahan Rancangan Undang-Undang Tentang Pengesahan Stockholm Convention on Persistent Organic Pollutants (POPs) rada terkejut mendengar beberapa pertanyaan yang provokatif. Apa alasan yang dapat dipahami DPR RI soal
perlunya terburu-buru menyetujui pengesahan konvensi tersebut? Konvensi tentang POPs yang telah ditandatangani
pemerintah pada tahun 2001, kenapa baru sekarang minta disahkan? Apakah perundangan yang cakupannya nasional saja tidak cukup? Apa "kita' akan "kejeblos" lagi seperti halnya perdagangan karbon (carbon trading) yang harga diperoleh Indonesia jauh lebih kecil daripada PNG? Dsb.
Tanggapan ornop ialah menangkap kesan terlampau dipolitisasikannya proses pengesahan konvensi itu, terkait dengan dengan aroma kental menjelang pemilu. Pada sisi lain, pemerintah, khususnya Kementerian Lingkungan Hidup pun tak peka atawa teledor dengan kelengkapan prosedur dan syarat dasar pengesahan itu, yaitu tidak cepatnya menyertakan NIP, national implementation plan dalam materi RUU. Ujungnya, kepada hanya beberapa wakil rakyat yang hadir dalam dengar pendapat itu menekankan, bahwa mereka perlu mendalami lebih dahulu pa itu, dan bagaimana NIP tersebut akan direalisasikan setelah copy NIP disusulkan dalam raker ini.
Berapa lama lagi proses pengesahan itu? Tidak terlihat jelas. Yang jelas, Komisi VII DPR masih akan mendengarkan pendapat pakar, dan kalangan asosiasi. Kalangan lain tidak disebutkan, demikian kata akhir dari Dr. Sony Keraf yang memimpin sidang, nyaris sendirian.
Berikut saya sajikan pernyataan masukan PAN Indonesia:
Pengesahan Rancangan Undang-Undang
Tentang Pengesahan
Stockholm Convention on Persistent Organic Pollutants (POPs)
Masukan
PAN Indonesia/BioTani & Bahari Indonesia1
Yth Anggota Komisi VII DPR RI,
Perkenanankan kami atas nama, Pesticide Action Network (PAN) Indonesia Since 1982 menyampaikan beberapa hal.
1.PAN Indonesia pada prinsipnya sangat menyetujui pengesahan RUU tentang Pengesahan Stockholm Convention on Persistent Organic Pollutants, khususnya terhadap naskah konvensi tersebut.
2.Di bawah prinsip setuju sepenuhnya terhadap naskah Konvensi Stockholm tersebut, perkenankan kami menyampaikan beberapa catatan pertanyaan dan usulan yang patut dipertimbangkan kembali untuk penambahan, atau revisi kalimat pada hal-hal berikut.
3.I. Umum
(...)
2. Manfaat mengesahkan Konvensi Stockholm bagi Indonesia
(...)
b. Mengembangkan kapasitas Daerah...dst.
Kata “Daerah“ menimbulkan tanda tanya. Pertanyaannya: “Apa yang dimaksud dengan kata Daerah?”
Atau, “Siapakah yang dimaksud?“
Sementara pada kalimat/ alinea awal di muka tidak ada kata “Pusat“
4.(...)
4. Perundang-undangan Nasional yang Berkaitan dengan Konvensi Nasional
PAN Indonesia memandang terdapat kekurangan yang mungkin dapat
dipertimbangkan untuk ditambahkan ke dalam naskah pada nomor di atas,
yaitu perundangan yang mengatur Tentang Daftar Investasi Negatif (DIN)
yang diterbitkan oleh pemerintah melalui Badan Koordinasi Penanaman
Modal (BKPM), yaitu UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (UU
PM)(, dan Peraturan Presiden).
Perlu kami tambahkan pula dalam Naskah Akademik Ratifikasi Dan
Implementasi Konvensi Stockholm yang disusun oleh Kementerian Negara
Lingkungan Hidup tahun 2004 pun analisisnya tidak menyentuh regulasi yang
terkait dengan investasi.
Adapun dasar dari pandangan kami adalah telah dicantumkannya beberapa
dari pestisida yang tergolong POPs ke dalam DIN dalam beberapa tahun
terakhir; Ref: Peraturan Presiden (Perpres) No. 76/2007, dan No. 77/2007
walaupun di DPR RI yang menangani investasi adalah Komisi VI.
Usul yang lebih kongkrit adalah POPs yang termasuk dalam Lampiran A, B, C
dari total 6 Lampiran pada Konvensi Stockholm dimasukkan ke dalam Daftar
Bidang Usaha yang Tertutup Mutlak bagi Penanaman Modal,
meskipun sebagian dari Lampiran A sudah tercantum dalam DIN.
5.Usulan di luar RUU tentang Pengesahan tentang Stockholm Convention on Persistent Organic Pollutant (POPs), tetapi terkait dengan peredaran atau perdagangan pestisida berbahaya lintas Negara.
Kami berharap agar Komisi VII DPR RI untuk turut segera mendesak kepada pemerintah agar mempersiapkan ratifikasi Konvensi Rotterdam tentang Pemberitahuan Dini (Rotterdam Convention on the Prior Informed Consent Procedure for Certain Hazardous Chemicals and Pesticides in International Trade; Rotterdam, 10 September 1998)
6.Masih di luar RUU tentang Pengesahan tentang Stockholm Convention on Persistent Organic Pollutant (POPs), tetapi terkait dengan pesticida yang juga tergolong persistan adalah endosulfan – yang telah dilarang melalui Peraturan Menteri Pertanian No. 07/Permentan/SR.140/2/2007, yang menyatakan Endosulfan bersama 37 bahan aktif lainnya telah dilarang untuk semua bidang penggunaan pestisida.
Hendaknya pestisida ini mulai diamati, dan juga diakomodasi oleh Komisi VII sebagai POPs di kemudian hari.
Sebagai informasi, kepada pemerintah khususnya Kementerian Lingkungan Hidup, pada 16 Desember 2007, kami telah menyatakan perlunya POPs Plus, yaitu (kutipannya)
Himbauan
Aras international
Pengembangan dinamis POPs ke dalam traktat internasional
1.Menyampaikan informasi hal pelarangan endosulfan kepada Sekretariat Stockholm Convention, agar dapat disebarkan kepada para pihak pada The Fourth Meeting of the Conference of the Parties (COP4) of the Stockholm Convention will be held from 4 to 8 May 2009 in Geneva, Switzerland. Dengan kata lain Indonesia bergabung dengan Uni Eropa, masuk ke dalam kategori countries and NGOs-submission to Convention files.
2.Melakukan notifikasi status endosulfan, seraya bergabung dengan kelompok yang mengupayakan agar endosulfan masuk ke dalam daftar prior informed consent, PIC pada Rotterdam Convention on Prior Informed Consent.
Aras nasional
Penguatan status hukum POPs dan endosulfan
1.Secepatnya mengupayakan Ratifikasi Stockholm Convention ke dalam perundangan RI.
2.Secepatnya mengupayakan endosulfan masuk ke dalam Daftar Investasi Negatif (DIN) guna memperkuat status hukum peraturan menteri.
3.Pengumpulan data dan informasi mengenai endosulfan dan dampaknya bagi masyarakat pemakai, khususnya petani.
4.Sosialisasi POPs Plus endosulfan (pemerintah, swasta, universitas, ornop) kepada masyarakat luas, seraya menjajaki suatu program nasional penanggulangan resiko POPs yang mengacu kepada pemberdayaan partisipatif komunitas.
5.Menerbitkan mempublikasi Panduan untuk pengelolaan POPs berdimensi sosial ekonomi versi Bahasa Indonesia, sehingga dapat digunakan sebagai rujukan oleh kalangan yang peduli dengan ancaman bahaya dan resiko POPs
Yth Anggota Komisi VII DPR RI,
Demikian masukan dari kami PAN Indonesia.
Kami berharap masukan ini dapat bermanfaat, dan dapat turut memperlancar proses tahapan akhir menjelang pengesahan RUU tentang pengesahan Stockholm Convention on Persistent Organic Pollutants (POPs).
Jakarta, 10 Februari 2009.
Riza V. Tjahjadi
Koordinator PAN Indonesia
Disampaikan oleh Direktur Eksekutif BioTani & Bahari Indonesia, Koordinator Pesticide Action Network (PAN) Indonesia – (pasif), Pembina Yayasan Jaringan Kerja Pertanian Organik (Jaker PO) kepada Komisi VII DPR RI, Ruang Raker Gedung Nusantara, 12 Februari 2009.
Lampiran
Konvensi Stockholm
Lampiran A. Penghentian: Aldrin, Klordan, Dieldrin, Endrin, Heptaklor,
Heksaklorobenzen, Mirex, Toksapen, PCB.
Lampiran B. Pembatasan: DDT.
Lampiran C. Produksi Tidak Sengaja: PCDD, HCB, PCB.
---
PIC Regions
Introduction
This section contains information regarding the Prior Informed Consent (PIC) regions. The PIC regions are used only for the determination of requirements stated in paragraph 5, article 5 of the Convention.
As adopted by the first meeting of the Conference of the Parties
At its first meeting, in decision RC 1/2, the Conference of the Parties, adopted the regions and listing of countries as the PIC Regions, only for the purposes of paragraph 5, article 5 of the Convention. The Prior Informed Consent ( PIC) regions are stipulated in Article 5, paragraph 5, of the Convention:
"When the Secretariat has received at least one notification from each of two Prior Informed Consent regions regarding a particular chemical that it has verified meets the requirements of Annex I, it shall forward them to the Chemical Review Committee."
http://www.pic.int/reports/countryprofiles.asp, lihat juga UNEP/FAO/RC/COP.4/INF/2, 24 September 2008, Annex II
Daftar Pestisida yang termasuk PIC, lihat: The chemicals subject to the Prior Informed Consent (PIC) procedure (listed in Annex III of the Convention) UNEP/FAO/RC/CRC.1/INF 2, 28 January 2005
Endosulfan, adalah pestisida yang dicurigai banyak pakar sebagai salah satu kimia yang tergolong endocrine disrupter
Apa itu endorine disrupter?
Pernah mendengar hasil studi World Wildlife Fund (WWF) yang mendalam dan komprehensif di wilayah rawa Florida Amerika Serikat? Pernah mendengar wakil-wakil WWF membeberkan hasil studi itu kepada Komisi Masalah-masalah Pemerintahan di Senat Amerika Serikat? Pernah mendengar Anti Breast Cancer Movement?
Seorang di antara penggerak kepedulian itu, ialah ilmuwan yang bekerja di WWF, Theo Colborn dan para ilmuwan lainnya. Mereka - melalui bukunya berjudul: Our Stolen Future: Are we threatening our fertility, intellegence and survival - telah membangkitkan kepedulian mengenai bagaimana kimia pada setiap hari telah dapat memberikan dampak terhadap:
Fungsi-fungsi yang berada dalam cakupan sistem endokrin:
a. mengurangi kesuburan (lowered sperm count and undescended testes)
b. deformitas gential (hypospadias in boys - where the urethtra does not develop to come out of the penis, and even more severely where urethra comes out of the scrotum)
c. kelainan dalam sistem kekebalan
d. kanker (estrogen imitators triggering breast cancer, etc.)
e. masalah-masalah pertumbuhan seperti gangguan rasa kepekaan yang menurun.
f. menurunkan kecerdasan (lowered IQ).
Gawatnya potensi ancaman kimia ini, sehingga muncul istilah "Stealing the Future?
Endocrine Disrupters".
Dalam bentuk audio visual dikenal dengan judul "Fooling With Nature" produksi WWF Amerika Serikat; mungkin WWF Indonesia memiliki copy video itu. Film ini menggambarkan dampak-dampak dari pestisida persisten terhadap satwa, dan manusia.
Dari sekian banyak kimia yang mengganggu fungsi sistem endokrin adalah PESTISIDA.
Adapun pestisida yang dicurigai ialah: alaklor, maneb, heptaklor, benomil, DDT, lindana, dan ENDOSULFAN. Nyaris seluruhnya adalah pestisida organoklorin. Ini dapat ditambahkan daftarnya: methoksiklor, dikofol, vinclozolin, 2,4-D, 2,4,5-T, atrasin, karbaril, mirek, malathion.
Tambahan:
Pemerhati Lingkungan Peringati Tragedi Bophal
JAKARTA – Tanggal 3 Desember selalu dikenang oleh pencinta lingkungan sebagai hari peringatan tragedi kegagalan teknologi terhadap manusia. Delapan belas tahun silam, tepatnya 2 Desember 1984, sebanyak 40 ton metil isociyanat (MIC) gas dari pabrik produksi pestisida bocor dan menguap di udara pada pukul 16.00 waktu Bhopal di India. Peristiwa ini berlangsung hingga keesokan harinya dan mencelakakan manusia di sekitarnya.
Menurut Riza Tjahjadi, Direktur Eksekutif Pesticide Action Network (PAN) Indonesia, Remember Bhopal adalah peringatan solidaritasi umat manusia terhadap kecelakaan yang menimbulkan kebocoran gas racun MIC dari pabrik milik Union Carbide di Bhopal India. Oleh kalangan pemerhati pestisida di kawasan Asia Pasifik sejak beberapa tahun silam diubah namanya menjadi
No Pesticide Day, dan waktunya ditetapkan menjadi 3 Desember, guna dapat diperingati di seluruh dunia. ”Di Indonesia, dalam menyongsong No Pesticide Day, PAN Indonesia menyoroti perkembangan pelaksanaan Konvensi Stockholm mengenai polutan organik yang awet di alam, dengan sebuah pernyataan. Segera larang dan awasi ketat endosulfan racun kategori POP dan Bahan Perusak Ozon,” papar Riza dalam siaran persnya baru-baru ini.(*/mer)
Sinar Harapan 3 Desember 2001.
2. Petikan dari POPs-Usul-Biotani-PAN Indonesia.doc
Gambaran umum masalah
DDT adalah racun yang paling banyak diwartakan dampaknya bagi komunitas dan lingkungan oleh media massa cetak dibandingkan dengan unsur POPs pestisida lainnya. Dokumentasi populer PAN Indonesia yaitu Terompet, teropong masalah pestisida, pada periode 1987 hingga 2003 mencatat beberapa kasus.
* Di Cipanas, Jawa Barat dan tanah Karo Sumatera Utara petani menggunakan DDT selaku obat “dewa” untuk tanaman sayur (PAN Indonesia, 1987).
* On 28 August 1982, 12 people died in Plaeng village in Klaten, Central Java province due to DDT contamination of foods. Nine people were severely affected. Seventeen of 28 kinds of foods availed by host of traditional celebration were identified as the source of poisoning (Tjahjadi, 1990).
* Kisah keracunan DDT di desa Klodran Kecamatan Ngososari Boyolali menyebabkan 19 warganya dirawat di rumah sakit. Dua orang lainnya meninggal dalam perjalanan, dan satu orang meninggal begitu tiba di rumah sakit. Peristiwa naas itu terjadi 5 Oktober 1982, ketika sejumlah penduduk desa membeli bakwan yang terbuat dari tepung terigu dan tauge. Rupanya tepung pembuat makanan tadi terkontaminasi DDT.... dst (PAN Indonesia, 1990).
* On lowland vegetables in West Java and DKI Jakarta in 1989 residues of BHC, Lindane and dieldrin were found. Lindane in hot pepper was 0.007 ppm, whereas maximum amount of residue was only up to 0.001 ppm. BHC at 0.017 ppm to 0.037 ppm was found in cucumber dan shalot. These values are too far over the World health Organization and the Food and Agriculture Organization tolerance residue limit set for these respective pesticides (Tjahjadi, 1990).
*DDT formulation factory in Cicadas village of Bogor, West Java has caused harm to villagers living in the surrounding areas. Forty-three villagers were suspected to have died from dust pollution of DDT both through air and water since August 1984 (Tjahjadi, 1990).
*Petani tomat di Sungai Jernih Kabupaten Agam Sumatera Barat menggunakan DDT cocktail dalam menyemprot tanaman tomat diamati oleh puluhan perempuan pegiat pertanian lestari yang datang dari berbagai penjuru Sumatera, dan Jawa dalam bengkel Kerja Perempuan dan Pestisida yang diselenggarakan PAN AP dan PAN Indonesia tahun 1991,
Program POPs yang sudah dilaksanakan oleh Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) sangatlah tidak cukup memadai materinya untuk dapat diketahui bagi publik dalam pemahaman yang mudah dicerna secara menarik dan singkat ringkas.
Senin, 23 Maret 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar