Beras Vietnam berkosmetik RACUN,
Ayo
Tetap
Konsumsi
B e r a s L o k a l..!
Importir bisa dicabut ijinnya, tapi terhadap siapakah yang akan dipidanakan?
anak kecil
@golputstone
T @RizaVT: @saididu Beras Vietnam berkosmetik RACUN, bisa dipidanakan; ayo tetap konsumsi beras Lokal. m.tempo.co/read/news/2014…
5:01 a.m. Mon, Mar 10
Impor Beras Vietnam Berklorin Bisa Dipidana
TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Penerimaan dan Peraturan Kepabeanan dan Cukai, Susiwijono Moegiarso, mengatakan ada pelanggaran pasal pidana dalam kegiatan impor beras Vietnam. Apalagi belakangan muncul temuan beras impor tersebut mengandung klorin atau bahan kimia pemutih. "Ada pelanggaran pidana," kata Susiwijono kepada Tempo.
Hasil pengujian laboratorium yang dilakukan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan menemukan kandungan klorin pada beras asal Vietnam. Beras berklorin tersebut diuji di Balai Besar Penelitian Tanaman Padi di Subang, Jawa Barat, pada 18-26 Februari 2014. Susiwijono mengaku belum mengetahui hasil pengujian tersebut. (Baca: Beras Vietnam Diduga Mengandung Klorin).
Sumber Tempo mengatakan pengujian dilakukan pada tiga sampel beras asal Vietnam dan dua sampel yang diambil acak dari Pasar Beras Cipinang. Lima sampel beras ini diuji untuk mengetahui kandungan klorin atau zat pemutih. Zat tersebut banyak dipakai agar beras terlihat kinclong. (Baca juga :Beras Berpemutih Pakaian Marak di Pasar).
Berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 32 Tahun 2007, klorin dilarang dicampur dalam beras. Salinan dokumen hasil laboratorium yang diterima Tempo menunjukkan setiap satu kilogram beras dari lima sampel mengandung klorin 28,772-107,909 miligram. (Baca : Berapa Banyak Klorin dalam Beras Vietnam?).
Selain melanggar Peraturan Menteri Pertanian dan aturan kepabeanan, kandungan klorin dalam beras ini mengindikasikan adanya pelanggaran Undang-undang nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Jika terbukti mengedarkan barang tersebut, pelaku bisa terkena pidana penjara lima tahun dan denda Rp 2 miliar.
Selengkapnya, baca majalah Tempo edisi 10 Maret 2014.
AKBAR TRI KURNIAWAN | FERY FIRMANSYAH
Lebih jauh:
Izin Importir Beras Vietnam Berklorin Akan Dicabut
TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan, Bachrul Chairi, mengancam akan mencabut izin importir yang diduga mengimpor beras Vietnam secara ilegal. Selain melanggar aturan impor, beras-beras tersebut ditengarai mengandung zat kimia jenis klorin yang membahayakan kesehatan.
http://m.tempo.co/read/news/2014/03/10/090560898/Izin-Importir-Beras-Vietnam-Berklorin-Akan-Dicabut
http://m.tempo.co/read/news/2014/03/10/090560884/Impor-Beras-Vietnam-Berklorin-Bisa-Dipidana
Pius
Mulyono yg lokal pada di ekspor pak...heheheh
Riza
V. Tjahjadi Hoooooiiiii... Apa yang sudah saya kemukakan empat tahun
lalu di biotaniindonesia.blospot.com yaitu PO gak ada kemajuan, malah mengulang
skema/ model dagang VOC... jual hasil bumi tanpa olahan... Ternyata bukti-bukti
akan semakin perkuat tesis saya... ...See More
Halim
Gurning kalau sesepuh sudah bicara tidak ada yang bisa pungkiri,kita
hanya dicekoki produksi dan yang olah negara lain sehingga mereka punya
"nilai" tinggi dan olahan kita beli mahal yang bahan bakunya asalnya
dari "tanah pertiwi".
Ayo Transform Model VOC, Ekonid dapat fasilitasi produsen organik?
Inbox
|
x
|
|
8/26/09
|
|||
|
Dear Paula Yahya,
Mohon luang waktu sejenak, membaca emil saya.
Hampir dua minggu silam saya menerima ringkasan "cerita" pertemuan di Ekonid soal undangan Biofach... Saya sejak medio 1990-an selalu terima itu brosurnya. Tetapi dalam dua tahun belakangan saya minta dihentikan pengirimannya... Saya melihat peluang dalam Biofach dalam model perdagangan yang saya gagas kecil peluangnya tanpa adanya intervensi investor, dan pada sisi lain memerlukan dana yang tidak kecil untuk berpartisipasi.
Obsesi saya belum terdekati kembali realisasinya jika hanya bertumpu pada event itu.
Yang jelas penyelenggaraannya masih di bulan Februari-Maret, 'kan setiap tahunnya?
Terpikir dalam benak saya dan kemudian saya utarakan kepada beberapa rekan di Jaker PO tentang bagaimana potensi Ekonid (FYI, pertama kali saya dengar nama itu dari Ketuanya Brigjend. Djukardi Odang, ayahnya putrinya teman saya pada akhir 1970-an) untuk menjajaki kembali obsesi saya memfasilitasi produk akhir untuk tujuan ekspor. Yaitu, apakah Ekonid berpotensi untuk menjembatani pengembangan produk organik yang sifatnya "finished product".
Obsesi saya itu muncul tahun 1992-an ketika saya berpartisipasi dalam participatory training course on organic farming and rural development di East Sussex Ingeris, dan baliknya ke Amsterdam dan Stuttgart. Dalam pengamatan saya terhadap beberapa gerai saya melihat produk organik asal Asia tidak kentara, atau seringkali ditata di bagian belakang - bukan pada display yang diperkirakan hot selling... Ada politik dagang, ada juga alasan lainnya. Balik ke tanah air saya berpikir. jikalau Indonesia ingin produknya terjajakan di pasar Eropa atau Amerika Serikat, mestinya jarus ada sesuatu yang dapat mengundang selera-beli konsumen hijau. Saya mencari-cari kopi organik papua, tidak ketemu. Cari kopi organik-nya Timtim yang disertifikasi oleh USAID, tidak ketemu. Begitu juga Blue Mountain Coffee asal Gayo Aceh tengah, ataupun juga kayu manis (cassia vera) TN Kerinci Seblat Jambi, juga tidak ada.
Besar kemungkinan saya salah tempat. Mustinya mencari gerai yang banyak menual bumbu dapur, begitu, ya, sambil njelimet membaca labelnya satu-satu produk yang dijual.
Artinya, saya dapat menarik hikmah, bahwa produk organik asal Indonesia itu adalah bahan mentah (raw materials) yang dikemas atau dilabelkan oleh orang-orang Eropa. Pada tahun berikutnya dengan program pertanian organik selama lebih dari 7 tahun saya mencoba mempromosikan kopi dan teh organik ke manca negara melalui iklan sampul belakang kalawarta yang saya kelola Terompet Pesticide Action Network (PAN) Indonesia (versi bahasa Inggeris) yang saya kirim ke lebih dari 30 negara selama (1993-1997), dan contoh produk tentengan (hand carry) jikalau saya berkesempatan mengunjungi Eropa: Jerman, Denmark, Belanda, dan Italia, lalu Jepang, dan Korsel selama periode 1995-2000.- termasuk ketika saya menunggui stand saya PAN Indonesia di Hannover Expo 2000 selama satu minggu - sendirian, karena stand Indonesia lainnya di samping saya, yaitu PPLH Trawas hanya beberapa lembar informasi lembaga tetapi tanpa perwakilan orang dari Trawas.
Hand carry yang tidak saya lakukan, ketika itu, ialah tujuan Amrik tidak karena aturan SPS-nya amat ketat di bandara meskipun sudah dibilang ini organik, dst.
Apa yang saya maksud dengan contoh produk dengan cara hand carry? Itu adalah Brut coffee dan roasted coffee hasil budidaya organik petani Suayan Sariak di Sumbar, dan Pandeglang - kopi Robusta dan Arabika - dan teh tubruk peko asal Taraju Tasikmalaya yang dipasok oleh mantan relawan Bina Desa. semua contoh itu - dengan kemasan dari kotak anyaman bambu - adalah siap seduh dan minum. Bukan green bean, ataupun daun teh curah (bulk tea).
Hasilnya? Laku bagi konsumen perorangan, tetapi PO dalam skala yang relatif besar dari importir tidak kunjung tiba.
Maksud saya, dengan eksperimentasi beberapa tahun itu tampak jelas besarnya tantangan, yaitu mendapatkan pintu terbuka lebar bagi produk akhir organik Indonesia. Faktanya, hanya konsumen eceran saja yang laku keras. Konsumen sono paham dengan Kopi Jawa, dan kopi-kopi lainnya, tetapi tidak ada tangan terbuka dari importir. Lalu, apakah saya pernah mengajak rekan lain? Periode 2000, sepulang dari ikutan Hannover Expo saya beberapa la;i anjurkan rekan yang emosial dekat tetapi kantornya di Medan - satu ornop besar di Sumatera - untuk investasi dari hibah donor jerman untuk menjajaki membangun pabrik permen atau snack coklat (bukan cacao candy, tetapy cholate candy) dan "sebangsanya", agar ada nilai tambah dan yang paling penting membangun teknologi hijau dalam proses pabrikasi coklat.. Tapi hingga sekarang gayung tak bersambut. Mereka lebih suka dengan pengepulan, pengeringan, dan jual ke bandar - entah tunai, atau lewat lelang - alias masih asyik bermain dengan bahan mentah, sekaligus memposisikan petani mitra sebagai "price taker" sazaaa.
Melalui kesempatan ini, saya bertanya dengan berharap, apakah Ekonid memungkinkan membuka peluang fasilitasi untuk melanjutkan obsesi saya dalam babak dewasa ini? Bukan peluang semacam "Trade Faciilitation" - yang sangat dimungkinkan dalam rejim perdagangan bebas WTO, dan seringkali menjadi targetnya pemerintah RI dari negara donor. melainkan semacam "development facilitation" yang dapat dimulai dari tataran/ level awal: produsen hingga tahap promosi ke Eropa - yang saya tahu pasarnya sudah sesak oleh banjirnya produk (raw materials) dari Amerika Latin dan Afrika.
Adakah kemungkinan itu dalam waktu dekat ini?
Mudah-mudah saya tidak keliru alamat, dan ada sisi atau celah yang dapat dikembangkan atau dapat diagendakan lebih lanjut. Tentu akan saya sambut dengan harapan luar biasa. Tetapi, jika, dari sisi pesimis, peluang itu nyaris mustahil dikembangkan Ekonid, maka premis saya sejak 1993, simplifikasinya: apakah bedanya produk rempah-rempah plus kopi, teh, tembakau,.dan sebagainya pada jaman VOC dan pada jaman perdangan bebas kini? Produknya sama-sama nyaris organik, tetapi besar kemungkinan jaman VOC tidak ada sertifikasi organik berikut social just, dan tidak ada paham value added dsb. (iya dong jaman kolonial).
Saya pikir itu itu gagasan yang saya utarakan agak panjang, dan jelas tidak anda undang (harapkan), tetapi besar harapan saya ode dapat bersambut di waktu dekat. Karena ini jelas merupakan peluang pula bagi Ekonid.
Demikian emil saya ini.
Tabek hangat,
Riza V. Tjahjadi
BioTani & Bahari Indonesia - NPWP 02.637.212.0017.000
(Kepmen No. AHU-1716.AH.01.02 Tahun 2008 tanggal 28 April 2008)
Bangun Reksa Indah I
Blok H No. 24 Karang Tengah
Ciledug Tangerang 15157
Indonesia
email: biotani@rad.net.id, biotani@biotani.org, biotani@gmail.com, biotani2004a@yahoo.com
http://www.biotani.org
http://biotaniindonesia.blogspot.com/ (mixed, English & Indonesia versions)
Cellph: +62 813 9993 9954
Kindly reply to: biotani@biotani.org, biotani@gmail.com, biotani2004a@yahoo.com
|
8/27/09
|
|||
|
Translate message
Turn off for: Indonesian
Yth. Pak Riza,
Saya sangat senang
menerima e-mail Bapak, tetapi berhubung e-mail cukup panjang, saya butuh waktu
untuk menjawab secara menyeluruh. Saya harap Bapak tidak berkeberatan.
Saya pribadi, sangat
berharap, setuju dan sangat mendukung kalau Indonesia tidak hanya jadi
“penjahit” ataupun hanya suplai produk yang belum bernilai tambah. Walaupun
mungkin banyak faktor yang membuat Indonesia sampai sekarang hanya menjadi
penjahit dan penyuplai bahan mentah
Sedikit pengertian,
idealisme dan nasionalisme mungkin dibutuhkan ya, Pak
Kembali, terima kasih
atas e-mail Bapak. Saya akan jawab lebih lanjut di e-mail berikutnya.
Hormat saya,
Paula
From: RIZA Tjahjadi [mailto:biotani@gmail.com]
Sent: 26 August 2009 19:50
To: Paula Yahya @ AHK / EKONID; Tradefairs @ AHK/ EKONID
Cc: Biotani 2004
Subject: Ayo Transform Model VOC, Ekonid dapat fasilitasi produsen organik?
---o0o---
Sent: 26 August 2009 19:50
To: Paula Yahya @ AHK / EKONID; Tradefairs @ AHK/ EKONID
Cc: Biotani 2004
Subject: Ayo Transform Model VOC, Ekonid dapat fasilitasi produsen organik?
---o0o---
Tidak ada komentar:
Posting Komentar