Pangan Tidak Jelek, Tapi Petani susut 5 Juta dalam 10 Tahun, dan Impor Meningkat
oleh: Riza V. Tjahjadi
Indonesia
produsen pangan nomor 5 terbesar di dunia setelah Cina, AS, India, dan Brazil.
Indonesia pun nomor 5 sebagai negara konsumen pangan terbesar di dunia setelah
Cina, India, AS, Brazil; sumber: Diolah dari FAO Statistical Yearbook, 2010.
Pada periode sama tercatat pula bahwa kemandirian pangan Indonesia antar negara
pada komoditas padi-padian berada pada urutan 5 pula, setelah Cina, AS, India,
Brazil.
Menurut Khudori
(2013) anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat:
Padi: Produksi
69,27 juta ton gabah (39,48 juta ton beras, konversi 0,57, naik 0,31%). Jika
konsumsi113,5 kg/kapita, total konsumsi 250 juta penduduk: 28,25 juta ton.
Harusnya surplus.
Jagung: Produksi
18,84 juta ton jagung pipilan kering (turun 2,83%), sebagian besar untuk pakan
ternak. Benih hibrida meningkatkan produksi.
Kedelai: Produksi
847 ribu ton kedelai kering (naik 0,47%). Produksi terus menurun, jauh dari
target swasembada (2,5 juta ton). Impor dari AS.
Gula: Produksi
2,3 juta ton, di bawah target produksi 2,8 juta ton. Konsumsi >4,5 juta ton,
terdiri 2,5 juta ton gula konsumsi dan 2 juta ton gula rafinasi, berasal dari
impor gula mentah.
Daging Sapi:
Produksi 474 ribu ton (?), konsumsi 550 ribu ton, impor daging 32 ribu ton dan
sapi bakalan setara daging 48 ribu ron, besar dari Australia. Swasembada daging
kian menjauh.
Produksi CPO
2012: 24 juta ton, ekspor 18 juta ton. Tahun 2013 produksi CPO diperkirakan
menembus 26 juta ton. Produk hilir mulai tumbuh.
Produksi kopi
2012: 700 ribu ton, ekspor 500 ribu ton. Tahun 2013 produksi kopi diperkirakan
tidak banyak berubah, walau harga jual cukup tinggi.
Produksi kakao
2012: 840 ribu ton, ekspor 450 ribu ton. Tahun 2013 produksi kakao diperkirakan
tidak berubah, karena GERNAS hanya 30%.
Produksi teh
2012: 140 ribu ton, sebagian besar untuk ekspor. Tahun 2013, produksi diprediksi
turun lagi karena 3000 ha kebun dibabat.
Sumber: Khudori
(2013) Kartel Pangan. Makalah pada Focus Group Discussion tentang ”Kartel Pangan
” Program Bincang-Bincang Agribisnis. Jakarta, 14 September 2013
Petani susut 5 Juta dalam periode 10 tahun 2003 hingga 2013
simak artikel berikut:
simak artikel berikut:
Mencegah Malapetaka Negeri Agraris
Galih Andreanto* | Jumat, 20 September 2013 - 14:02 WIB
Negeri agraris ini, sekarang banyak mengimpor produk
pertanian dari luar negeri.
“Barangsiapa mengurangi penghasilan makanan, misalnya
dengan mempersempit sawah atau membiarkannya terbengkalai apa yang dapat
dijadikan makanan, atau melalaikan binatang piaraan apa pun, kemudian hal itu
diketahui oleh orang banyak, orang yang demikian itu diperlakukan sebagai
pencuri dan dikenakan pidana mati. Demikianlah ajaran sastra”
(perundang-undangan Agama, Kerajaan Majapahit Pasal 261).
Pasal dari kerajaan
Majapahit di atas dapat diambil sebagai warisan prinsip kebesaran Nusantara di
tengah kondisi pertanian yang karut-marut ini.
Kebesaran era Nusantara
seakan mendesakkan urgensi pelaksanaan prinsip kedaulatan pangan bagi sektor
pertanian. Kini, setelah melewati tujuh abad kebesaran Nusantara, kondisi
pertanian Indonesia morat-marit, kecemasan demi kecemasan menghinggapi dunia
pertanian kita.
Demi ketersediaan pangan
jangka pendek, pemerintah sibuk memainkan peran impor. Mungkin saat ini julukan
negeri agraris harus dipertanyakan ulang kepada bangsa kita. Pada 2013 ini,
krisis kedelai lokal masih ditanggapi pemerintah secara reaksioner jangka
pendek, dengan terus-menerus mengimpor hingga 1,1 juta ton.
Sejumlah kebutuhan atas
bahan pangan seperti daging sapi, beras bahkan bawang dan cabai harus dilalui
lewat mekanisme impor. Hal ini sungguh menyesakkan dada kita di mana kedaulatan
di bidang pangan ternyata masih jauh dari harapan.
Persoalan pangan harus
dilihat dari akar persoalan dengan tidak mengabaikan faktor utama aktor pertanian
yaitu petani. Akses petani terhadap tanah semakin timpang, laju guremisasi
semakin tak terhindarkan.
Sensus pertanian tahun 1993
mencatat, jumlah petani gurem (penguasaan kurang dari 0,5 ha) 52 persen dari
total petani. Pada sensus pertanian tahun 2003, jumlahnya naik menjadi 53,5
persen. Pada pendataan usaha tani pada 2009, jumlahnya naik lagi menjadi 54,2
persen.
Arus konversi lahan semakin
sulit untuk dihindari. Dalam konteks Pulau Jawa, karena skema dalam MP3EI
menuntut Pulau Jawa menjadi kavling atau koridor bidang jasa dan industri.
Program yang jauh dari penyelesaian akar persoalan ini, bukan saja tak bisa
mengobati kekhawatiran akan tercerabutnya karakter agraria (sumber kekayaan
alam), namun akan melahirkan beragam persoalan baru.
Namun, dampak negatif paling
nyata adalah konflik agraria yang merebak di seluruh penjuru Tanah Air. Data
dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mengatakan mulai 2004 hingga akhir 2012
telah terjadi 618 konflik agraria di seluruh wilayah Republik Indonesia, dengan
areal konflik seluas 2.399.314,49 hektare, di mana ada lebih dari 731.342
keluarga harus menghadapi ketidakadilan agraria dan konflik berkepanjangan.
Ketidakberpihakan pemerintah
kepada petani yang tengah berkonflik ditunjukkan melalui tindakan intimidasi dan
kriminalisasi, serta pemilihan cara-cara represif oleh aparat kepolisian dan
militer dalam penanganan konflik dan sengketa agraria mengakibatkan 941 orang
ditahan, 396 mengalami luka-luka, 63 orang di antaranya mengalami luka serius
akibat peluru aparat, serta meninggalnya 44 orang di wilayah-wilayah konflik
tersebut.
Badan Pusat Statistik (BPS)
baru-baru ini melansir data sementara bahwa jumlah rumah tangga petani menurun
hingga 5,04 juta dibandingkan dengan tahun 2003. Pada 2003 jumlah petani
sebesar 31,17 juta rumah tangga, sedangkan kini (2013) jumlahnya hanya tinggal
26,13 juta, atau turun 16 persen per 10 tahun.
Data BPS sebenarnya bukan
fakta mengejutkan, profesi petani tak lagi menjadi profesi yang menjanjikan
kesejahteraan, bahkan identik dengan kemelaratan, kemiskinan dan penuh
ketidakpastian.
Jika rata-rata laju
penurunan rumah tangga petani 1,75 persen per tahun (tetap) maka dalam jangka
waktu 57 tahun ke depan jumlah rumah tangga petani sama dengan nol. Namun, jika
laju penurunan jumlah rumah tangga petani meningkat tiap tahun maka kurang dari
57 tahun lagi petani Indonesia punah.
Pada sisi lain terjadi
pertumbuhan pesat perusahaan pertanian hingga 36,77 persen dibandingkan dari
2003. Korporasi pertanian berkembang pesat hingga 5.486 perusahaan pada 2013
atau bertambah 1.475 perusahaan dibandingkan 2003. Pembacaan atas data BPS
tersebut harus ditempatkan pada sudut baca yang tepat.
Hal ini terkait dengan arah
program kebijakan nasional ke depan. Namun, data itu sulit membuat kita
mengelak bahwa arah transformasi pertanian kita bukan lagi berorientasi pada
pemberdayaan rumah tangga petani, tapi ke arah industrialisasi pertanian
berwarna korporasi. Transformasi yang sangat mungkin terjadi adalah petani
bertanah ke arah buruh tani (hanya menjual tenaga) yang siap diserap sektor
industri.
Kita lagi-lagi tak boleh
lupa bahwa pembangunan pertanian tak akan berhasil bila melalaikan faktor
petani. Berdasarkan data yang dilansir FAO, investasi di negara berkembang dan
sedang disumbangkan oleh investor dalam negeri yaitu petani dengan investasi
pada aspek on farm investment capital mencapai US$ 140 miliar atau sekitar 71
persen dari keseluruhan investasi pertanian. Oleh karena itu, kebijakan
pertanian harus menempatkan petani sebagai faktor sentral dan tentu berpihak
pada petani.
Pengabaian faktor petani
karena mengejar faktor produktivitas dan efisiensi harga, potensial mendorong
lahirnya kebijakan yang mendorong kemusnahan petani Indonesia. Praktik-praktik
perampasan tanah karena pola pembangunan yang tidak berdasarkan keadilan
sosial, konflik agraria, kekerasan terhadap petani penggarap adalah buah dari
lahirnya kebijakan nasional yang jauh dari semangat pemberdayaan petani.
Sulit untuk mengelak bahwa
politik agraria nasional saat ini justru berjalan menyimpang dari semangat UUPA
1960 dan TAP MPR No IX Tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan
Sumber Daya Alam.
Turunnya angka rumah tangga
petani dapat diartikan sebagai hilangnya produsen pangan yang sekaligus berubah
peran menjadi konsumen. Hal ini patut dikhawatirkan karena kemampuan rakyat
dalam melakukan kerja produksi pertanian hilang.
Jika kemampuan suatu negara
dalam memproduksi pangan hilang maka ke depan Indonesia akan dilanda krisis
pangan. Dalil-dalil yang membenarkan impor tak lagi bisa ditoleransi karena
Indonesia akan benar-benar menyerahkan leher kedaulatannya pada asing.
Niatan pemerintah untuk
membangun industrialisasi pangan skala luas dengan pintu terbuka pada pihak
asing dapat dideteksi lewat rencana investasi China dan Malaysia membangun
areal sawah di Subang. Dengan dana investasi US$ 2 miliar (Rp 20,3 triliun)
bahkan bisa berkembang mencapai US$ 5 miliar (Rp 50,8 triliun), perusahaan
China berharap bisa memasuki pasar berkembang di Tanah Air sekaligus memenuhi
pasokan beras domestik.
Pembukaan areal pangan skala
luas berbasis korporasi dapat dievaluasi dari pelaksanaan MIFEE (Merauke
Integrated Food Estate and Energy), pada praktiknya MIFEE gagal menyejahterakan
petani lokal, bahkan memperluas penderitaan masyarakat adat dan kelestarian
lingkungan.
Industrialisasi pangan
dengan pembukaan areal pangan skala luas, bukanlah opsi yang bijak bagi
melimpahnya tenaga kerja pertanian Indonesia. Setidaknya ada 26,13 juta rumah tangga
petani (2013) yang masih konsisten mau dan mampu mengelola lahan pertanian
dengan membudidayakan tanaman.
Mengundang korporasi bisnis
untuk membangun sektor pertanian akan membuat tenaga kerja pertanian Indonesia
terserap rendah. Malapetaka justru diprediksi akan terjadi. Jika tenaga kerja
pertanian tidak terserap penuh maka petani yang jumlahnya masih 26,13 juta akan
semakin berkurang. Ini karena pertanian berbasis industri hanya memerlukan 1
orang/ha dengan bantuan mekanisasi pertanian yang modern.
Efek domino yang akan
dihadapi selanjutnya adalah petani yang tadinya mampu menghasilkan pangan untuk
keluarga sendiri (subsisten) akan beralih menjadi konsumen dan artinya lebih
banyak lagi “mulut” yang harus disediakan kebutuhan pangannya.
Persoalan ini bukanlah
sepele karena dapat mendorong percepatan terjadinya krisis pangan di Indonesia.
Khawatirnya, Indonesia akan dibentuk hanya benar-benar menjadi negara konsumen
pangan, konsumen pangan di tanah airnya sendiri.
Masa krisis di bidang pangan
ini harus menjadi perhatian khusus seluruh elemen bangsa. Di tengah hiruk-pikuk
tahun politik menjelang Pemilu 2014, agenda pembaruan agraria sebagai jalan
satu-satunya menyelesaikan krisis pangan dan marginalisasi petani harus menjadi
agenda nasional yang tidak bisa ditunda-tunda lagi.
Indonesia harus segera
menjalankan pembaruan agraria sejati demi mengatasi ketimpangan penguasaan
sumber kekayaan alam, upaya penyelesaian konflik agraria, melindungi petani
marginal dan melestarikan kemampuan rakyat membudidayakan tanaman.
Tepat kiranya momentum
politik 2013 yang bebarengan dengan 53 tahun UUPA para calon pemimpin nasional
menyadari bahwa agenda nasional yang harus dituntaskan segera adalah agenda
pembaruan agraria yang mampu menjadi jalan menuju kedaulatan dan kemerdekaan
sejati.
Kita tak boleh meninggalkan
sejarah yang diwariskan para pendiri bangsa yang mewariskan pada kita UUPA 1960
sebagai dasar penataan struktur penguasaan, pengelolaan dan pemanfaatan
sumber-sumber agraria (terutama tanah) agar memberikan rasa adil bagi rakyat
melalui program land reform. Tak bisa mengulur-ulur waktu lagi, pembalikan
krisis haruslah dimulai.
Geertz berujar bahwa
Indonesia pernah mempunyai kondisi yang memadai untuk tinggal landas, tetapi
momentum itu tidak dimanfaatkan. Jika suatu momentum terlewatkan maka
dibutuhkan beberapa generasi untuk dapat memperoleh momentum serupa (Higgins,
1963: hal.ix).
Jika momentum krisis dan
tekanan berat terhadap persoalan pangan tidak diatasi dengan kemauan politik
tinggal landas, bukan tidak mungkin kita tidak akan pernah mendapatkan
kesempatan tinggal landas karena laju kepunahan petani semakin dekat.
*Penulis adalah Kepala
Departemen Kampanye dan Kajian Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), alumnus
Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran.
Sumber : Sinar Harapan
lagi
Jumlah Petani Menurun, Tapi Produksi Pertanian RI Meningkat
Wiji Nurhayat - detikfinance
Sabtu, 07/09/2013 10:30 WIB
Bogor - Badan Pusat Statistik (BPS) telah merilis hasil sensus
pertanian 2013. Salah satunya adalah adanya fenomena meningkatnya produksi
pertanian khususnya padi dan jagung, meskipun jumlah petani terus mengalami
penyusutan.
"Ada penyusutan jumlah petani setiap tahunnya itu
sebesar 1,705% atau secara keseluruhan dari 31,17 juta rumah tangga petani
tahun 2003 menjadi 26,13 juta rumah tangga di tahun 2013, atau hilang 5,07 juta
rumah tangga petani. Walaupun jumlahnya turun tetapi produksi produk pertanian
seperti padi dan jagung meningkat," ungkap Kepala BPS Suryamin saat
melakukan diskusi Sensus Pertanian 2013 di Hotel Mirah, Bogor, Jawa Barat,
Sabtu (7/9/2013).
Menurut hasil sensus pertanian tahun 2013, untuk produksi
padi sebesar 69,27 juta ton atau meningkat 3,29%/tahun. BPS mencatat produksi
padi di 2003 hanya 52,14 juta ton.
Sedangkan untuk jagung produksi di 2013 mencapai 18,84 juta
ton, atau meningkat bila dibandingkan tahun 2003 yang produksi jagungnya hanya
10,89 juta ton. Produksi jagung meningkat sebesar 7,16%/tahun.
"Sehingga share pertanian dalam PDB mengalami
peningkatan walaupun berfluktuasi dari 14,3% tahun 2004 menjadi 15,04% tahun
2013," imbuhnya.
Sedangkan BPS juga mencatat presentase penduduk 15 tahun ke
atas yang bekerja di sektor pertanian mengalami penurunan dari 40,61 juta orang
tahun 2004 (43,33%) menjadi 39,96 juta orang pada tahun 2013.
"Ini menunjukan produktifitas di sektor pertanian
mengalami peningkatan," tandasnya.
(wij/dnl)
Nah yang berikut adalah Sebagian data impor pangan periode Januari hingga Juli 2013
Data impor Pangan tahun 2011
---o0o---
Tidak ada komentar:
Posting Komentar