Selasa, 06 Desember 2011

RUU PANGAN, tanggapan Biotani & Bahari Indonesia












RUU PANGAN

Tangggapan

Biotani & Bahari Indonesia

biotani@gmail.com




Rancangan Undang-Undang PANGAN dewasa ini memasuki tahap akhir pembahasannya di DPR. Dengan mengamati materi dan substansi RUU PANGAN, maka Biotani & Bahari Indonesia menyatakan, hal-hal berikut:

1. RUU Pangan dalam pemahaman analogis adalah mengatur pangan. Ini artinya membawa tafsiran bahwa RUU Pangan jauh lebih luas - karena tidak tersedianya Naskah Akademis - manakala diingat bahwa RUU Pangan adalah RUU yang bersifat Perubahan terhadap UU No. 7 tentang Pangan Tahun 1996. Dan dalam pengertian UU, maka perubahan yang dilakukan tidak boleh melebihi 50% dari total materi yang hendak diubah. Dengan kata lain RUU Pangan sudah jauh melenceng dengan kata RUU yang bersifat mengubah UU terdahulu.

2. RUU Pangan dapat pula dikesankan mengandung cakupan luas, manakala diperbandingkan dengan penambahan kata pada pangan, Contohnya Hak atas Kecukupan Pangan.

The UN-FAO’ Voluntary Guideline on the Right to Adequate Food approved by the intergovernmental FAO Council in November 2004. The Voluntary Guidelines to Support the Progressive Realization of the Right to Adequate Food in the Context of National Food Security adalah bersifat tidak mengikat secara hukum (internationally nonbinding agreement), Tetapi dapat saja dipertanyakan:

3. Dimanakah jawaban "progressively realize the right to adequate food" dalam konteks nasional (Right to Food making it happen as well as mainstraimng right to food), khususnya RUU Pangan?

4. Ternyata RUU Pangan tidak menyantumkan pengaturan tentang Social transfer scheme – sebagaimana halnya pengaturan/ Panduan Sukarela hak atas kecukupan pangan FAO 2004.

Name

Social transfer scheme

(...)

Possible sub-indicators

• Safety net

• Food safety net

• School feeding programs

• Basic food basket scheme

Rationale

According to Voluntary Guideline 14, states should consider to establish and maintain social safety and food safety nets to protect those who are unable to take care of themselves. States have to implement appropriate measures to aid marginalized and disadvantaged groups.

State obligation

Obligation to fulfil (provide)

Legal content

Accessibility (economic/physical)

Voluntary Guidelines

Voluntary Guideline 14 (safety nets)

Category of Indicator

Qualitative and quantitative Indicator / Expert-survey-based / Structural Indicator

Disaggregation

The coverage may be disaggregated to all marginalized and disadvantaged groups; in particular

• Children, Orphants

• Homeless

• Migrant workers

• Prisoners

• People living with HIV/AIDS

• Female-headed households

• Indigenous people

• Elderly people and disabled

Catatan: Naskah UU tentang Fakir Miskin tidak tersedia online untuk perbandingan; bandingkan dengan bantuan pangan dalam RUU Kemiskinan (Biotani Indonesia, 2007; silahkan unduh di sharepdfbooks.com:

http://www.sharepdfbooks.com/1FFBF3RGY5QV/Hak_atas_Pangan_Pulau_Kecil-PositionPaper_Biotani_Ind-FINALdraft.pdf.html).


5. Tidak cukup terakmodasinya aspek membangun kesadaran (awareness building ) tentang hak atas pangan termasuk kependidikan/ kepelatihannya tentang hak atas pangan. Kedaulatan pangan dalam RUU Pangan tidak otomatis menjamin seluruh hak atas pangan sudah dikerangkakan pengaturannya ke dalam kewajiban negara. Contohnya, ya, pendidikan mengenai hak atas pangan maupun esc-rights dalam cakupan luasnya.

Pengakuan hak tersebut, maka akan membawa konsekuensi aspek penyelenggaraan kependidikan/ kepelatihannya, dan penganggaran dananya untuk pendidikan/ kepelatihan.


Voluntary Guideline 7 (Legal framework); Voluntary Guideline 1.5 (access to legal assistance to better assert the progressive realization of the right to adequate food)


Yang lebih penting lagi, EKOSOB tidak cukup terkerangkakan di sini(?)

„The right to adequate food is realised when every man, woman and child , alone or in community with others has physical and economic acces at all times to adequate food or means for its procurement in ways consistent with human dignity”

General Comment, 12, the Right to Adequate Food


Pernyataan di atas adalah jelas, bahwa Right to Food bukan Right to be Fed.

The right to food is not a right to be fed, but primarily the right to feed oneself in dignity. Individuals areexpected to meet their own needs, through their own efforts and using their own resources. To be able to do this, a person must live in conditions that allow him or her either to produce food or to buy it. To produce his or her own food, a person needs land, seeds, water and other resources, and to buy it, one needs money and

access to the market. The right to food requires States to provide an enabling environment in which people can use their full poten4 tial to produce or procure adequate food for themselves and their families. However, when people are not able to feed themselves with their own means, for instance because of an armed conflict, natural disaster or because they are in detention, the State must provide food directly. (OHCHR & FAO: The Right to Adequate Food. Fact Sheet No. 34)


Mising, dalam RUU Pangan, No? Manakah penjelasannya yang memadai tentang, minimal dua subjek yang disebutkan dalam VG RAF-nya FAO maupun Ekosob?


Mohon penjelasan/klarifikasi dari DPR RI (sebagai inisiator RUU Pangan) bagaimana kemungkinannya hak atas pangan sepenuhnya tertampung dalam RUU Pangan ini?


6. Pemakaian kata teknologi terlalu umum (Pasal 20), sehingga keberlanjutan operasional teknologi yang dilakukan produsen pangan pokok menjadi tanda tanya, dan keberlanjutan proses produksi pangan dapat turut berkontribusi terhadap ketidakberlanjutan pembangunan (sustainable development).


Jika RUU Pangan dipersempit menjadi RUU Kedaulatan pangan, maka pasal-pasal yang menyangkut rekayasa genetika/ transgenik haruslah dikeluarkan – tidak diatur sebagai pangan. Karena dalam paham “kedaulatan pangan” yang menjadi salah satu pilarnya adalah “working with nature” alias pertanian organik. Namun untuk sementara, Biotani & Bahari Indonesia pada saat ini menyatakan, bahwa


7. Produk dari hasil proses rekayasa genetika tidak diatur tentang kemestian pelabelannya. Argumennya rekayasa genetika masih dipandang Biotani & Bahari Indonesia kontroversi, dan karenanya harus diatur secara ketat. Analogi popular, pangan organik diwajibkan pelabelan (di Negara lain, di Indonesia tidak kuat dasar hukumnya), apalagi rekayasa genetika yang masih kontroversial. Karenanya Biotani & Bahari Indonesia mengusulkan satu (1) Ayat baru tentang label itu pada Pasal 73.


(4) Usul: Pangan yang dihasilkan dengan/dari proses rekayasa genetika wajib diberi/dicantumkan label dalam Pemasarannya: kemasan, iklan, dsb. Ini berbeda dengan Pasal 93.


8. Beberapa usul penambahan kalimat ke dalam beberapa Pasal dalam RUU Pangan, kritik dsb, sbb.


Usul

Pasal 20

Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah berkewajiban mengembangkan teknologi (perlu lebih spesifik biar nyambung ke Psl 21) untuk peningkatan Produksi Pangan.

Pasal 21

Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah mendorong dan memfasilitasi penggunaan dan pengembangan sarana dan prasarana dalam upaya untuk meningkatkan Produksi Pangan berkelanjutan.


PERAN SERTA MASYARAKAT

Pasal 126

(1) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:

Usul

(g) Melakukan fungsi pemantauan realisasi hak atas pangan terhadap situasi produksi pangan, cadangan pangan, maupun bantuan pangan dari luar negri.


Kritik

Pasal 22

(1) Ancaman Produksi Pangan merupakan kejadian yang dapat menimbulkan gagalnya Produksi Pangan yang disebabkan oleh:

a. Perubahan iklim;

b. organisme pengganggu;

c. bencana alam;

d. bencana sosial;

e. teknologi;

f. rekayasa genetika;

g. kompetisi komoditas; dan/atau


Kritik Biotani

h. alih fungsi penggunaan lahan (ini akibat bukan sebab).


Pertanyaan

Bagian Ketiga

Cadangan Pangan Nasional

Pasal 23

(1) Dalam rangka mewujudkan Ketahanan Pangan, Pemerintah menetapkan cadangan Pangan nasional.

(2) Cadangan Pangan nasional merupakan upaya penyediaan Pangan untuk konsumsi masyarakat di seluruh wilayah Negara Republik Indonesia.

(3) Cadangan Pangan nasional terdiri dari cadangan Pangan Pemerintah dan cadangan Pangan masyarakat.


Catatan: Cadangan pangan darurat dalam ASEAN (ASEAN Food Security Framework, dan ASEAN Plus Three Emergency Rice Reserve, APTERR) masuk atau dikerangkakan (dukungan legalnya) di mana? Konsekuensinya ialah pada Pasal-pasal selanjutnya?


Pertanyaan

Kata Komunitas (Pasal 34) harap diperjelas batasannya.


Dengan mengacu kepada beberapa pokok kepedulian tersebut di atas, maka Biotani & Bahari Indonesia mendesak kepada Negara (khususnya, DPR RI dan pemerintah) agar:

1. Usulan di atas, (termasuk catatan Biotani & Bahari Indonesia dalam file/naskah) dimasukkan ke dalam naskah RUU Pangan. Yang terutama, mempertajam/persempit judul UU, dan substansinya.

2. Beberapa pertanyaan tercantum di atas agar diberikan jawabannya dalam wujud pasal-pasal yang kongkrit.

3. Dengan menyantumkan kedaulatan pangan dalam RUU Pangan, maka tidak ada kata lain hak ata pangan (Right to Food) harus diakomodir. Karena dalam paham kami, Biotani & Bahari Indonesia: kedaulatan pangan adalah prasyarat bagi terciptanya ketahanan pangan, sedangkan hak atas kecukupan pangan adalah dasar hukum dalam merealisasikan pencapaian ketahanan pangan (Food sovereignty is a pre-requisite to obtain food security, the Right to Food is the legal background and an instrument to achieve it).


Demikian tanggapan kami. Terima kasih.

Salam hormat,

Jakarta, 6 Desember 2011

Riza V. Tjahjadi


Pengusul Hak atas pangan dimasukkan ke dalam satu ayat tersendiri ke UUD 1945 (Surat Biotani Indonesia kepada Komisi Konstitusi tertanggal 19 Desember 2003).


Jejak-rekam


National

# Editor a newsletter of JARI, the Indonesia Action Research Network (1986-1987)

# Pesticide Action Network Indonesia (1988-2010)

# Biotani & Bahari Indonesia (1996-now)

# Chair of a national network on Organic Agriculture, Jaker PO (2007-now); one of four founders (1998)


Regional

# Member Regional Organising Board, ROB of SEASAN, Southeast Asia Sustainable Agriculture (1991-1994).

# Member of Steering Committee Pesticide Action Network the Asia and Pacific, PAN AP (1994-2003).

# One of founders of the SEA Council on Food Security and Fair Trade (SEACON FS&FT); member of SC (1996-2005).

# One of declaratory of NPOL (No Patent on Life No Patent on Rice) April 1998.

# Host the International Fact Finding Mission on Food Crisis in Indonesia (1999).

# Member of the International Planning Committee, IPC on the Right to Adequate Food (2006-2009).

Biotani & Bahari Indonesia

Bangun Reksa Indah I Blok H No. 24

Karang Tengah Ciledug Tangerang 15157

biotani@gmail.com, biotani2004a@yahoo.com

http://biotaniindonesia.blogspot.com



Contoh (kasus)

Bagaimana (R )UU Pangan dapat dipergunakan oleh dan bagi pegiat/ pengembang pertanian organik untuk menggugat pemerintah (khususnya Pemda Kabupaten Klaten) yang tidak mampu mengoperasionalkan rumah kompos di Pasar Srogo Klaten, Jawa Tengah - yang dibangun dengan “Partisipasi Masyarakat” melalui dana CSR salah satu bank di Indonesia (YDP) sehingga menganggur (mangkrak, Bhs. Jawa). Karena dalam konteks Hak atas Pangan, maka Negara berkewajiban menyiptakan lingkungan yang mendukung (requires States to provide an enabling environment) bagi warganya untuk menyukupi pangannya bagi dirinya, keluarganya, dan masyarakat konsumen, tetapi ternyata gagal direalisasikan. Rumah kompos adalah salah satu bagian dalam perspektif lingkungan yang mendukung, dan bagian dari partisipasi masyarakat (non-state actors) bagi masyarakat pertanian organik.

Kasus, kedua, ialah terlantarnya puluhan ribu TKI di Arab Saudi yang (ketika itu) terpaksa “bermukim” di kolong jalan layang, tidak terakomodasi hak atas pangannya dalam RUU Pangan. Tidak jelas pula bagaimana mekanisme penyelesaian sengketa penggugatan hak atas pangan.

Dari info ringkas di atas, jelas, bahwa RUU Pangan tidak mengakomodasi azas Justisiabilitas.



Info ringkas

Kedaulatan pangan mencakup

# Political concept

# Alternative policy framework as a

# Challenge to the mainstream liberal trade-based food security paradigm

# Using rights language to support political demands

Six pillars of Food Sovereignty

# Focuses on food for people

# Values food providers

# Localises food systems

# Puts control locally

# Builds knowledge and skills

# Works with nature






---o0o---

Tidak ada komentar:

Arsip Blog