Rabu, 22 Maret 2017

Hari Air Sedunia 2017 sekilas info dan data di Nusantara





Hari Air Sedunia 2017




Selintas info & data tentang AIR di Nusantara

Dari:


 
WATER AND CLIMATE DEVELOPMENT PROGAM (WACDEP)

Development of Investment Planning Model for Implementation  of National Water Security Program to Support  Implementation of Sustainable Development Goals (SDGs) Agenda 2030 on Water and Other Related Goals in Indonesia

JAKARTA
21 Desember 2016
SUTARDI
Kemitraan Air Indonesia




Ringkasan oleh RVT, Walhi Jkt/ Biotani Bahari Indonesia
 

1) SWOT Kondisi Pengelolaan SDA di Indonesia  (1)
Strength:
• Negara kepulauan terbesar didunia terdiri  17.508 buah pulau dengan luas total 1,9 juta km2
• Jumlah curah hujan tahunan rata-rata  2.350 mm/th
• Total ketersediaan air 690 x 109 m3/th
• Total kebutuhan air  secara nasional 175 x 109 m3/th.
• Jumlah air yang tersedia di hampir semua lokasi kecuali di Bali, NTB dan NTT melebihi jumlah kebutuhan air
• Indonesia mempunyai lebih dari 8,000 DAS, lebih dari 280 waduk ukuran sedang & besar dan ribuan embung serta sekitar 7,8 juta Ha jaringan irigasi yang dikelola dalam 131 Wilayah Sungai   
• Cadangan air tanah sekita 520 milyar m3/tahun dengan safe yield 156 miliar m3/tahun (30%)
• Potensi hydro power sekitar  75.000 MW   baru dimanfatkan sekitar 10% dari total potensi

1) SWOT  Kondisi Pengelolaan SDA di Indonesia  (2)
Weakness:
• Ketimpangan dalam ketersediaan dan pemanfaatan SDA: 
[] Jawa pusat  ekonomi, dihuni > 60% penduduk, punya 7% SDA
[]  Kalimantan & Papua dihuni 13% penduduk, punya 70% SDA.
• Terbatasnya infrastruktur SDA, rawan thd: banjir, kekeringan, longsor
• Terbatasnya simpanan air perkapita 54 m3/kapita terendah di Asia
• Terbatasnya rasio luas tanam dan jumlah penduduk 0,010 terendah di ASEAN kecuali terhadap Singapura dan Brunei
• Terbatasnya rasio luas jaringan irigasi dan jumlah penduduk 1: 32 idealnya 1: 25 (amanat PP Irigasi No. 20/2006
• Terbatasnya ratio rice stock to domestic utilization:  3.05 terendah di ASEAN kecuali terhadap Laos
• Semakin meluasnya land subsidence dan kenaikan muka laut (rob) di PANTURA 

1) SWOT Kondisi Pengelolaan SDA di Indonesia  (4)
Opportunities:
• Adanya tuntutan peningakatan kebutuhan air utk seluruh sektor selama 15 thn kedepan:
3. Air untuk Energi:
Dengan diversifikasi energi yang akan dilaksanakan dalam periode 2013 s/d 2050 akan merubah pola sumber energi yang akan digunakan. Sebagai hasil diversifikasi energi dan perubahan lainnya, misalnya “green energy” dan EBT, telah diantisipasi bahwa kebutuhan “air untuk energi” akan bertambah dengan 8x lipat dalam periode 26 tahun kedepan, yaitu dari 90 m3//dt di tahun 2012 menjadi 737 m3/det pada tahun 2050.        
 
1) SWOT  Kondisi Pengelolaan SDA di Indonesia  (5)
Threats:
a) Kecenderungan menurunnya  kualitas air akibat pencemaran limbah rumah tangga, limbah industri, pertambangan, limbah pertanian,  limbah perikanan, dan sampah
b) Pencemaran air tanah dangkal oleh septic tank & limbah rumah tangga dan intrusi air laut  yang semakin meluas
c) Bencana terkait air: banjir, kekeringan,  tanah longsor,  masalah drainase , land subsidence  dan  rob   yang semakin meningkat intensitas dan frekuensinya
d) Erosi dan kehilangan top soil akibat penggundulan hutan dan penggarappan lahan yg tidak sesuai dg prinsip konservasi lahan dan air
e) Dampak perubahan iklim; memicu terjadinya kejadian iklim ekstrem yg menyebabkan banjir bandang,  tanah longsor, masalah drainase, kekeringan yg lama, meluasnya “rob”
e) Dampak perubahan iklim: …, meluasnya “rob”, kenaikkan tinggi muka air laut yg  dapat menenggelamkan permukiman dan infrastruktur  publik dan private lainnya, perubahan pola hujan, dsbnya
f) Cepatnya laju urbanisasi
g) Alih fungsi lahan beririgasi menjadi lahan non-ppertanian di Jawa
h) Kecenderungan menurunnya fungsi ekosistem air tawar dan gambut  karena  pembukaan kebun sawit skala besar yg menyebabkan a.l., penurunan debit sungai dan kebakaran lahan     
i) Dasar tata kelola SDA yg bersifat ad-hoc” perlu segera diselesaikan dan diselaraskan dengan kebijakan dibidang hukum terbaru
j) Kecenderungan tidak dipenuhinyaa  NBB utk kegiatan O&P   infrastruktur SDA




SDGs Agenda 2030/Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) (2)
Goal 6: “Menjamin ketersediaan dan keberlanjutan pengelolaan air dan sanitasi untuk semua”
 
6.1 Pada tahun 2030, telah dapat dicapai akses umum dan setara atas air minum yang aman dan terjangkau untuk semua
 
6.2 Pada tahun 2030 telah dapat dicapai akses yang mencukupi dan setara atas sarana sanitasi dan kesehatan semua
 
6.3 Pada tahun 2030 telah dicapai perbaikan kualitas air dengan pengurangan sebesar 50% limbah cair yang tidak diolah dan secara subtansial meningkatkan jumlah air yang didaur ulang dan dipakai kembali secara aman ditingkat global   

6.4 TIDAK ADA
6.5 Pada tahun 2030 pelaksanaan pengelolaan terpadu sumber  daya air telah mencapai semua tingkatan , termasuk melalui kerjasama lintas batas (transboundary) sebagaimana diperlukan.
 
6.6 Pada tahun 2020 telah dilaksanakan perlindungn dan restorasi ekosistem-ekosistem terkait air termasuk pegunungan, kehutanan, rawa (wetlands), air tanah, sungai dan danau.

6.a Pada tahun 2030 telah dicapai kerjasama internasional dan peningkatan kapasitas untuk mendukung negara-negara berkembang dalam kegiatan dan program terkait air-dan sanitasi termasuk pemanenan air, desalinisasi, pengolahan air limbah, serta teknologi daur ulang dan penggunaan kembali  air.
6.b Mendukung dan memperkuat partisipasi masyarakat setempat dalam dalam peningkatan pengelolaan air dan sanitasi. 




Lima Dimensi  Ketahanan Air Nasional
 




Lima Dimensi  Ketahanan Air Nasional (2)
(i) Ketahanan Air Rumah Tangga: pemenuhan kebutuhan air tingkat keluarga untuk: air minum, sanitasi, hygene,  air untuk usaha, dan ketahanan terhadap bencana terkait air,  untuk seluruh masyarakat;
(ii) Ketahanan Air Mendukung Kegiatan Ekonomi Produktif: pemenuhan kebutuhn air untuk irigasi, pertanian, perkebunan, perikanan, industri, energi dan jasa; 
(iii) Ketahanan  Air Perkotaan: pemenuhan kebutuhan air untuk seluruh sektor di perkotaaan, pemenuhan kebutuhan infrastuktur untuk: permukiman, distribusi air, sanitasi, pengelolaan banjir & drainase dan sampah;
(iv) Membangun ketahanan masyarakat terhadap bencana terkait air, a.l., banjir, kekeringan, tanah longsor, rob, land subsidence, dan kenaikan muka air laut
(v) Ketahanan Air untuk ecosystems air tawar, ekosistem lahan gambut, ekosistem karst, dan ekosistem pantai  dan lautan







Lihat juga



https://www.slideshare.net/biotani/air-selintas-info-di-nusantara-pada-hari-air-sedunia-220317






Kontak saya:
Biotani@gmail.com  @RizaVT





---o0o---

Rabu, 15 Maret 2017

Studi Pengembangan Model Kepariwisataan Berkelanjutan di Kep. Seribu Usulkan Satu Badan Manajemen Tujuan Wisata






Studi Pengembangan Model Kepariwisataan Berkelanjutan di Kep. Seribu Usulkan Satu Badan Manajemen Tujuan Wisata


 
Rangkuman oleh: Riza V. Tjahjadi
(biotani@gmail.com @RizaVT)

Walhi Jakarta/ Biotani Bahari Indonesia

 


Mengusulkan suatu organisasi yang sudah terlebih dahulu dibentuk pemerintah..! Apakah bisa diaplikasikan jika hal ini adalah hasil riset?

Nah... itu situasinya adalah Menara gading, sungguh... Pada titik ini ada ketidaktahuan dan tidak tahu dalam proses riset tentang strategi Pengembangan Pariwisata Berkelanjutan (Sustainainable Tourism) Kawasan Wisata Kepulauan Seribu sebagai Kawasan Strategis Pariwisata Nasional tetapi mengusulkan adanya atau pembentukan
suatu manajemen pengelolaan pariwisata. Itulah kesan saya ketika saya mendapatkan informasi bahwa pemerintah sudah membentuk tata kelola kepariwisataan (DMO) beberapa bulan sebelum riset berjalan, sementara dalam proses riset tidak tahu dan juga tidak mendapat pengetahuan akan adanya DMO dari Pemrov khususnya Dinas Pariwisata DKI Jakarta. Dari sisi metodologis,riset ini tidak mengamati/ menyimak/ memantau berbagai informasi dari tataran pemerintah pusat terkait kepariwisataan di Kepulauan Seribu, sehingga terjadi karakter menara gading.

Simaklah kutipan saya mengenai informasi tentang DMO yang telah dibentuk pemerintah:

 
Kementerian Pariwisata Republik Indonesia (RI) membentuk kelompok Destination Management Organization (DMO) bagi masyarakat maupun pelaku jasa wisata di 6 kelurahan, di Ruang Pola Gedung Kabupaten, Pulau Pramuka, Kecamatan Seribu Utara, Rabu (04/11/2015).

Torang Nasution Sekretaris DMO Pusat Kementerian Pariwisata menuturkan, program tata kelola destinasi pariwisata khususnya di Kepulauan Seribu baru kita mulai tahun 2015 ini diharapkan program  tersebut bisa berlanjut sampai tahun 2019.
[...]






Torang menuturkan untuk 9 destinasi termasuk kepulauanSeribu tergabung di Morotai, Menjangan, Blitung, Muaro Jambi dan lainnya.
"Ini merupakan pertemuan kedua terkait program DMO, kita  memberikan pemahaman dan mensosialisasikan apa sih DMO dan pentingnya DMO bagi masyarakat maupun industri dan pemerintah daerah," terangnya.


 
Tujuannya, sambung Torang, ya itu, agar destinasi pariwisata  yang ada di Kepulauan Seribu dapat berdaya saing mempunyai ketertarikan yang kuat dan nilai yang berkelanjutan serta berkeadilan bagi masyarakat setempat.




"Khususnya masyarakat yang terlibat dalam kepariwisataan maupun yang tidak terlibat," tandasnya.


 
dst (http://beritapulauseribu.com/bpsc/berita-kementerian-pariwisata-bentuk-dmo-kepulauan-seribu.html#.WMpX6zf-sW4)


Nah...Terlepas dari ketidak tahuan dan karakter menara gading, dan bagaimana hal ini akan disikapi oleh para pihak oleh akademisi STP Sahid dan juga di sisi pemerintah, maka ada baiknya saya kemukakan saja dulu naskah usulan dari hasil temuan lapang pada riset kolaboratif STP Sahid dan Walhi Jakarta.


 



Riset Sekolah Tinggi Pariwisata Sahid yang bermitra dengan Walhi Jakarta telah berakhir dengan seminar dengan bertajuk Strategi Pengembangan Pariwisata Berkelanjutan (Sustainainable Tourism) Kawasan Wisata Kepulauan Seribu Sebagai Kawasan Strategis Pariwisata Nasional pada 13 Maret 2017. Riset ini mengambil lokasi di Pulau Pramuka, Pulau Panggang, Pulau Tidung, Pulau Pari, dan Pulau Bidadari. Ada tiga tahapan dalam riset ini, yaitu penyusunan profil Kepulauan Seribu, penetapan model strategi pengembangan pariwisata berkelanjutan di kawasan wisata Kepulauan Seribu, dan penyusunan tata kelola DMO yang terdiri dari [a] kebijakan pengembangan [b] rencana aksi (action plan), [c] indikator perencanaan dan [d] sistem monitoring dan evaluasi.

DMO, Destination Management Organization merupakan pendirian dan pemeliharaan sebuah struktur dan proses kolaboratif untuk mengelola kepariwiataan secara berkelanjutan secara lintas pelaku/ organisasi pada suatu tujuan wisata, meliputi pemerintah, bisnis/ industri dan komunitas. Keterlibatan para pemangku kepentingan yang memegang peranan kunci dalam pengambilan keputusan perlu dibarengi dengan peningkatan kapasitas masing-masing dalam mendukung praktek sustainable tourism (Dewi, 2011:13).




Siap menuju Pulau Pramuka dari Pelabuhan Marina Ancol 3 Mei 2016



Bentuk kelembagaan DMO di Kawasan wisata Kep. Seribu yang diusulkan adalah berbentuk Forum Tata Kelola Pariwisata (FTKP). Forum ini adalah sebuah konsorsium pemangku kepentingan aktif di destinasi pariwisata yang terdiri dari eleman masyarakat, industri, akademisi, dan Pemerintah yang secara bersama-sama berkolaborasi dalam pembangunan kepariwisataan berkelanjutan di destinasi KWK Kep. Seribu untuk mencapai tujuan bersama, yang tetap menjaga otonomi dari masing-masing pemangku kepentingan.


Kantor Suku Dinas Pariwisata di Pulau Pramuka (atas), dan bersama satu tokoh masyarakat di Pulau panggang (tengah dan bawah) 3 Mei 2016


FTKP yang akan diimplementasikan adalah manajemen destinasi berskala lokal. tata kelola yang dibentuk berdasarkan para pemangku kepentingan yang ada di KWP Kep. Seribu yang terdiri dari para pihak yang ada di kelurahan, kecamatan, kabupaten yang berada di bawah pemerintahan Kabupaten Administratif Kep. Seribu.

Tata aturan forum ini dikukuhkan dalam AD/ART. Eksistensi FTKP sudah semestinya dimotori oleh kelompok kerja lokal dengan melibatkan peran serta dan koordinasi antar pihak yang terlibat pembangunan dan pengembangan pariwisata berkelanjutan di KWP Kep. Seribu. Dalam strukturnya FTKP terdiri dari [1] Kelompok Kerja Lokal (Local Working Group), berfungsi sebagai focal point dan bertujuan untuk mengelola pariwisata secar efektif, menjalin kerjsama lebih erat di antara para pihak berkepentingan [2] Komisi, melaksanakan program-program pembangunan terkait dengan bidannya, yaitu Komsi Etika, Komisi Lingkungan, Komisi Ekonomi, Komisi Sumberdaya Manusiam dan Komisi lainnya sesuai dengan kebutuhan [3] Kelompok Kerja (Pokja), yang merupakan satuan kerja ad hoc yang dibentuk FTKP untuk melaksanakan program-program spesifik dalam waktu tertentu sesuai kebutuhan destinasi.





Dalam rangka melaksanakan pembentukan dan pengembangan FTKP secara komprehensif  diperlukan fungsi-fungsi pokok yang dikerjakan oleh Tim FTKP yaitu [1] melakukan koordinasi, kemitraan, dan jejaring. [2] melakukan konsultasi dan advokasi [3] Melakukan pembenahan fasilitas standar layanan berdasarkan prinsip-prinsip pariwisata berkelanjutan [4] melakukan riset [5] meningkatkan pemberdayaan dan partisipasi masyarakat [6] menciptakan, melahirkan dan meningkatkan kapasitas champion lokal dan manajemen dstinasi yang profesional. [7] Mendorong penerapan nilai lokal dan kandungan lokalitas dalam pembangunan destinasi pariwisata berkelanjutan [8] menyelenggarakan pemasaran yang bertanggungjawab [9] melakukan promosi pariwisata berkelanjutan [10] melakukan survei kualitas layanan [11] melakukan penyusunan program-program inovasi dan [12] menerapkan krisis manajemen destinasi serta [13] melakukan monitoring dan evaluasi.

Sumber pembiayaan program FTKP sebaiknya tidfak bergantung kepada dana pemerintah saja, artinya sebnaiknya tidak menjadikan dana pemerintah sebagai satu-satunya sumber pembiayaan DMO/ Agar kelak tidak menghambat implementasi program-program DMO yang telah diterapkan, sebaiknya sumber dana berasal dari [1] Pemerintah (Kemnterian, APBD, Provinsi/ Kabupaten) [2] sumber lainnya (swasta, masyaralat) dan [3] dana mandiri.

Elemen penting keberhasilan DMO, khususnya dalam pengawasan pelaksanaan operasional sehari-hari adalah dibentuknya tim audit independen. Ditilik dari keanggotaannya tim audit adalah perwakilan dari masing-masing elemen anggota. Tugas dan tanggungjawab tim audit meliputi: [1] mendorong terbentuknya struktur sistem dan monitoring yang memadai [2] memberdayakan audit sistem dan monitoring [3] meningkatkan kualitas laporan.

Dalam pelaksanaan tata kelola pariwisata berkelanjutan adalah penting bagi FTKP melakukan pentahapan  dengan cermat berdasarkan analisis atas situasi dan kondisi kawasan, dan tingkat kesiapan, sehingga penerapan tata kelola dapat berjalan lancar dan mendapatkan dukungan dari seluruh pihak yang berkepentingan di dalam FTKP.

Pada akhirnya pendirian FTKP di KWP Kep. Seribu dengan mempraktekkan tata kelola pariwisata berkelanjutan diharapkan akan mampu menciptakan segmen pasar pariwisata yang bertanggungjawab yang meliputi: penciptaan brand destinasi yang berkelanjutan, dan memastikan delivery produk wisata yang menjamin hak-hak wisatawan, memberi manfaat ekonomi pada masyarakat lokal, dan melindungi sumber daya budaya dan lingkungan. Pemasaran pariwisata yang bertanggungjawab mempunyai peran yang signifikan dalam mengangkat competitive advantage kepariwisataan Indonesia secara berkelanjutan, yang pada gilirannya akan menopang pembangunan nasional secara berkelanjutan.
(Sumber: Naskah Seminar Riset Pembangunan Indonesia, Strategi Pengembangan Pariwisata Berkelanjutan (Sustainainable Tourism) Kawasan Wisata Kepulauan Seribu Sebagai Kawasan Strategis Pariwisata Nasional oleh Dr. Yohanes Sulistyadi, MPd, Drs. Bernard Hasibuan, MMSI, Phd dan Fauziah Eddyono, SE, MM. 13 Maret 2017).


Dua kategori pulau terkait destinasi wisatawan
Pariwisata di Kepulauan Seribu DKI Jakarta terbagi ke dalam dua kategori menurut ada-tidaknya penghuni, yaitu: Pulau Pemukiman (Home Stay) dan Pulau Resort Wisata.

Pulau pemukiman:
1. Pulau Untung Jawa
2. Pulau Tidung
3. Pulau Pramuka
4. Pulau Kelapa
5. Pulau harapan
6. Pulau Pari.

Pulau Resort Wisata:
1. Pulau Bidadari
2. pulau Ayer
3. Pulau Sepa
4. Pulau Pantara
5. PulauPutri
6. Pulau Macan
7. Pulau Pelangi.
(Publik Info, Selamat Idul Adha 2016. Polres Kep. 1000).




                                 Tim riset bersiap presentasi proposal riset ke LPDP 
                                di Ged. Kemenko Perekonominan 2 September 2015




                 Focus Group Discussion di Ruang Indonesia-Tiongkok Apt. sahid 19 Agustus 
                 2016. Tim Walhi Jakarta (bawah).


  Kegiatan akhir riset. FGD (10 Maret 2017) dan Seminar (13 Maret 2017)







Kepulauan Seribu adalah salah satu dari sepuluh (10) Kawasan Strategis Pariwisata Nasional yang ditetapkan oleh pemerintah pada 2016 silam. Kepulauan Seribu menjadi salah satu kawasan strategis dimaksudkan untuk mengurangi arus wisatawan yang menuju ke kawasan Puncak Bogor (Prof. Yuwono, 10 Maret 2017). tetapi mampu tidaknya pengurangan arus  wisatawan ke kawasan Puncak menjadi ke Kepulauan Seribu adalah bertautan dengan selera pada diri pelancong (Hasibuan 13 Maret 2017).



Pada sisi lain sejak September 2016 saya secara personal sedang mengembangkan kepariwisataan bahari berbasis rakyat, sebagaimana terpampang pada ilustrasi di bawah. Yaitu mendiskusikannya secara dikotomis pariwisata pada pulau berpenghuni dan pulau tak berpenghuni bersama warga Pulau Pari. Bertajuk: Pariwisata Pulau kecil Berkelanjutan Dalam cakupan Pariwisata Berkelanjutan









            


   Mengenalkan kerangka kerja kepariwisataan berkelanjutan berbasis 
                masyarakat di pulau kecil; bersama warga Pulau Pari 9 September 2016






Ringkasnya saya uraikan di bawah
Pariwisata berkelanjutan pada akhirnya masuk pula dalam pemikiran akademis di Indonesia. Kata berkelanjutan pada awalnya sering diucapkan, dan diproyek atau diprogramkan dalam berbagai skala kecil oleh kalangan ornop. Sebut saja: pertanian berkelanjutan yang mulai dijargonkan dan diadopsi oleh kalangan ornop pada jelang akhir 1990-an silam. Ada Seasan, the Southeast Asia Sustainable Agriculture Network… dst.

Di kalangan pemerintah sepanjang yang saya ketahui sudah mulai berulang kata berkelanjutan dinyatakan; di sisi global kata berkelanjutan dalam khazanah pembangunan sudah menjadi adopsi di lingkup Perserikatan Bangsa-Bangsa, PBB sejak 2015 yang lalu – dengan kata SDG, Sustainable Development Goal, sebagai kelanjutan MDG. Karenanya pariwisata berkelanjutan dapat diperbesar atau diperkecil lingkup atau cakupannya sesuai gagasan para peminat atau pengembang kepariwisataan. Keberlanjutan mensyaratkan adanya partisipasi. Partisipasi di sini adalah partisipasi dalam bentuk keterlibatan total dalam siklus dari ide, perencanaan, pelaksanaan, Kendali dan evaluasi, dan kembali ke perencanaan berikutnya, dst. Dalam konteks operasional maka dapat dipadankan dengan nama komunitas, dan dalam cakupan diskusi di sini adalah pariwisata berbasis komunitas. Maksudnya, pariwisata yang sejak dininya/ awalnya ditelurkan dan dikembangbiakkan oleh komunitas, termasuk juga kendali dan juga penyempurnaannya.


Pengertian pulau kecil
Pengertian pulau kecil menurut Undang-Undang  27 Tahun 2007 adalah pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan 2.000 Km2 (dua ribu kilometer persegi) beserta kesatuan ekosistemnya.  Di samping kriteria utama tersebut, beberapa karakteristik  pulau-pulau kecil adalah secara ekologis terpisah dari pulau induknya (mainland island), memiliki batas fisik yang  jelas  dan  terpencil  dari  habitat  pulau  induk,  sehingga  bersifat  insular;  mempunyai sejumlah  besar jenis endemik  dan keanekaragaman  yang tipikal dan bernilai tinggi; tidak mampu mempengaruhi  hidroklimat;  memiliki daerah tangkapan  air (catchment  area) relatif kecil sehingga sebagian besar aliran air permukaan dan sedimen masuk ke laut serta dari segi sosial, ekonomi dan budaya masyarakat  pulau-pulau  kecil bersifat khas dibandingkan dengan pulau induknya(KKP, 2012; lihat: Direktorat Pendayagunaan Pulau-Pulau Kecil. Ditjen Pengelolaan Ruang Laut, Kementerian Kelautan dan Perikanan 2012).



Dalam konteks pariwisata terdapat dua tipe yaitu pulau kecil tidak berpenghuni dan pulau kecil berpenghuni. Dalam pengembangan pariwisata terdapat Rencana yang dibuat oleh Pemerintah setempat maupun rencana nasional: yang dalam konteks partisipasi dapat dikatakan bahwa sifatnya Konvensional, dan Top-down?  Hal serupa terjadi pula di pulau kecil berpenghuni. Pulau kecil tak berpenghuni populernya disebut sebagai resor; di Kabupaten Kepulauan Seribu Provinsi DKI Jakarta terdapat 7 buah resor.


Rencana pemerintah mengenai kepariwisataan suatu lokasi tertentu biasanya berjangka waktu pendek, dan menengah. Tetapi ada saja yang dipandang tidak mengakomodasi hal baru, atau tidak mengedepankan suatu potensi. Nah, kondisi semacam ini yang memunculkan ide atau gagasan dari komunitas, atau dari orang luar yang ingin mengembangkan suatu potensi yang tidak teridentifikasi dengan baik oleh pemerintah, maupun dalam rencana pemerintah.


Selain itu saya menyatakan tidak perlu ada konsep carrying  capacity pada destinasi wisata dalam konteks turisme berdurasi singkat  sebagaimana yang menjadi karakter kepariwisataan di Kep. Seribu.

Dalam pengembangan pariwisata berbasis masyarakat dalam konteks wisata berdurasi singkat di pulau kecil berpenghuni ialah terdapat prasyarat, yaitu: Pengakuan Hak atas Tanah. Tanpa terpenuhi prasyarat ini, maka keberlanjutan atau sustainability kepariwisataan tidak akan panjang. Lebih lanjut, syarat ialah adanya zonasi, pembagian kewilayahan wisata di luasan lahan pulau kecil berpenghuni. Karena sangat mungkin masyarakat atau komunitas di pulau berpenghuni ini hanya akan menjadi pekerja di tanahnya sendiri - yang jelas tanpa daya tidak dapat mengembangkan inisiatif, juga akses, dan kendali atas dinamika kepariwisataan di pulau kecil itu, manakala prasyarat dan syarat minimal tidak terpenuhi.

Nah, begitulah singkatnya pengembangan konsep dan kerangka kerja implementasi kepariwisataan berkelanjutan pada pulau kecil berpenghuni.








Lihat juga:



https://www.slideshare.net/biotani/studi-pengembangan-model-kepariwisataan-berkelanjutan-di-73204451

juga

Carrying Capacity tak diperlukan dalam pariwisata [berkelanjutan] berdurasi singkat di pulau kecil





Ciledug, Tangerang 15 Maret 2017




Lampiran

Sepuluh Destinasi Wisata Prioritas di Indonesia

“Akhirnya bersama Kemko Kemaritiman kita tetapkan 10 destinasi yang kita akselerasi,” kata Arief dalam konferensi pers di kantor presiden, Jakarta, Kamis (15/10).
10 destinasi prioritas tersebut adalah, adalah Borobudur, Mandalika (Nusa Tenggara Barat), Labuan Bajo (Nusa Tenggara Timur), Bromo-Tengger-Semeru (Jawa Timur), Kepulauan seribu (Jakarta), Toba (Sumatera Utara), Wakatobi (Sulawesi Tenggara), Tanjung Lesung (Banten), Morotai (Maluku Utara), dan Tanjung Klayang (Belitung).
“Dan kita harapkan tahun 2016 itu sudah bisa dimulai menjadi awal destinasi-destinasi yang baru kita revitalisasi,” kata dia.
Pada tahun 2017 menurut Arief Yahya akan ada pembangunan yang lebih banyak untuk destinasi pariwisata di Indonesia.
(Berita satu 15 Oktober 2015: Pemerintah Programkan 10 Destinasi Wisata Prioritas di Indonesia)







---o0o---



Sabtu, 11 Maret 2017

Promosikan PLTSa Non-Insinerator ke Jokowi: KPN dan Walhi Jakarta Terlambat





Promosikan PLTSa Non-Insinerator ke Jokowi: KPN dan Walhi Jakarta Terlambat



Oleh: Riza V. Tjahjadi ( biotani@gmail.com @RizaVT )
Walhi Jakarta/ Biotani Bahari Indonesia



Prolog
Pokok bahasan dari judul di atas saya niatkan untuk saya ungkap dalam @NgobrolTempo di Hotel JS Luwansa Senin 060317 pagi hingga tengah hari. Tetapi karena waktu mepet dan moderator pilih kasih maka saya saya ungkap.




Saya hadir atas undangan dari Tempo dlm #NgobrolTempo kiri sy Pemred #KoranTempo Daru Priyambodo dan Walikota Makassar, Moh. Ramdhan Pomantic; sebelah kanan Soedirman direktur pengelolaan sampah ditjen PSLB3 KLHK.
Ngobrol Tempo: Mencari Alternatif Solusi Pengelolaan Sampah Perkotaan.
 








Nah... simaklah



Promosikan PLTSa Non-Insinerator ke Jokowi:
KPN dan walhi Jakarta Terlambat



Melongok PLTSa, Pembangkit Listrik Tenaga Sampah Bantar Gebang oleh PT. Navigat Organic Energy Indonesia (NOEI) 10 Juni 2014.
Sebelah kanan saya adalah landfill area, di situ bakteri anaerop yg hasilkan gas disalurkan - dan dibakar untuk gerakkan silinder pembangkitan energi. Landfill untuk PLTSa sekitar 60-70% dari total 100 hektar.
Harga jual listrik PLTSa ke PLN sejak 2013 sebesar Rp1.250/ KWH sebelumnya pada periode 2009-2012 adalah Rp820/ KWH. Total rerata penjualan sebanyak 5-5,5MW per hari.


Pembangkit Listrik (Power Plant) di TPST Bantargebang Bekasi
Luas lahan untuk komponen program power plant sekitar  2.420 M². Program ini merupakan bagian dari implementasi Clean Development Mechanisme (CDM). Pelaksanaan program pembangkit listrik tenaga sampah (PLTSa) berbasis non-termal/ non-insinerasi hingga 2015 tercatat pernah menghasilkan listrik 16,5 MW dari target 26 MW pada tahun 2023, namun pernah pula hanya sekitar 2-3 MW pada September 2015 ketika terjadinya kebakaran selama sekitar seminggu di salah satu blok – dimulai sekitar tanggal 11 September 2015 dan seminggu kemudian.
Di TPST Bantargebang telah dibangun fasilitas pembangkit listrik tenaga sampah dengan target akan menghasilkan listrik sebesar 26 MW dengan pengelolasnya adalah oleh PT. Navigat Organic Energy Indonesia (NOEI). Pada tahun 2010 direncanakan akan terpasang 10 unit Gas-Engine dengan kapasitas menghasilkan 10 MW listrik.Sampah (Proses produksi listrik) menjadi Energi Listrik adalah sebagai berikut:
a. Melalui sumur-sumur gas, gas methane (CH4) yang dihasilkan dari tumpukan sampah (sampah organik) yang ditangani dengan cara yang baik serta ramah lingkungan sebagaimana disyaratkan dalam CDM (Clean Development Mechanism) oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNFCCC) dengan proses sanitary landfill, disedot dan diproses sehingga menjadi bahan bakar Generator (Gas-Engine) pembangkit listrik. Karenanya pengelola PT GTJ menggandeng PT Pertamina pada 2013 menandatangani Persetujuan Kesepaham (MOU) untuk pengembangan PLTSa non-insinerator dengan target sekitar 120 MW/
b. Dari sumur-sumur gas, gas dialirkan melalui pipa-pipa penyalur dan dilakukan pemisahan kandungan air dan gas sebelum masuk ke Fuelskid.
c. Dari Fuelskid gas disalurkan ke pipa saluran utama bahan bakar generator untuk kemudian diproses menjadi tenaga listrik.
d. Adapun kelebihan suplai gas ke generator akan disalurkan ke Flare-Stack untuk dibakar guna mengurangi emisi dari gas metans menjadi karbon dioksida.

Sumur Gas. Pada saat ini jumlah sumur gas yang sudah selesai dikerjakan adalah sumur gas di Zona II sebanyak 62 sumur gas, di Zona III sebanyak 37 sumur gas. Sedangkan di Zona I baru selesai dikerjakan sebanyak 4 sumur gas dari + 110 sumur gas yang direncanakan akan dibuat. Untuk seterusnya akan dibuat sumur-sumur gas di Zona III, Enclave, Zona IV dan V. Pada Juni 2014 jumlah sumur gas lebih dari 200 buah.

Listrik dari gas sampah tersebut dibeli PT PLN senilai Rp 850 per KWH. Saat ini 4 MW yang terikat kontrak dengan PT PLN. Setiap tahun diprediksi pengolahan gas sampah (gas metana) menjadi listrik  di TPST Bantargebang mampu mengurangi 800 ribu ton emisi gas rumah kaca.  Sementara sumur gas yang telah berhasil dibor lebih dari 200 sumur. Zona yang dimanfaatkan semua di-cover soil kemudian ditutup dengan geomembrant untuk mencegah gas-gas sampah menguap ke udara. Selanjutnya dipasang pipa-pipa untuk mengalirkan gas-gas tersebut ke blower di power house. Nantinya semua zona gasnya akan dimanfaatkan untuk listrik (lihat juga: Walhi Jakarta, 12 Februari 2015).














Menteri ESDM pada 2013 mengatur pembelian listrik tenaga sampah dari PT NOEI di TPST Bantargebang melalui Peraturan menteri ESDM No. 19 Tahun 2013 tentang Pembelian Tenaga Listrik oleh PT Perusahaan Listrik Negara Dari Pembangkit Listrik Berbasis Sampah Kota tertanggal 15 Agustus 2013.
    

Pertamina akan bangun PLTSa Non-insinerator
 






Lihat di http://biotaniindonesia.blogspot.com
 



(maunya) Promosikan PLTSa Bantargebang ke Presiden
 

Besar harapan saya untuk mempromosikan Pembangkit Listrik tenaga Sampah (PLTSa) dari contoh atau model yang sedang beroperasi di TPST Bantargebang Bekasi kepada Presiden, ketika saya membaca berita adanya Ratas Kabinet oleh Presiden Jokowi pada sekitar medio Desember 2015 untuk percepatan pengembangan PLTSa dengan ujicoba ke berapa kota di Indonesia terhitung sejak 2016 mendatang.
Ide saya itu saya kemukakan kepada sobat Aron Chandra ketika ia kesulitan mendapat peluang berdiskusi denga Beathor Surjadi, staf KSP untuk urusan politik, agar dapat menembus KSP, Kantor Staf Presiden dengan mengusung (semula) usulan/ promosi dari Koalisi Persampahan nasional (KPN), yaitu adanya suatu badan pengelola sampah, BPSN kepada Presiden dari hasil diskusi internal di KPN sejak November 2005 silam.



Pesan saya ke D. Manurung adalah meneruskan pesan sobat Aron Chandra:
12/01/2016 6:56
Saya fwd sms-nya Chandra semalam:
Malam Pak Bagong & Pak Beny Tunggul..besok Selasa, 12 Januari 2016 pukul 11.00 Wib kita ketemu di kantor TPST Bantar Gebang untuk membahas tencana kita ketemu dengan Tim di Bina Graha..karena Kami sdh ketemu dengan Pak Eko Sulistio  Deputi IV Staff Kepresidenan & Yopie Lasut Penasehat Deputi Staff Kepresidenan..terima kasih..



Dengan mengusung ide promosi PLTSa berbasis non-insinerator menjadi lebih utama daripada usul pembentukan BPSN. Hasilnya pada Rabu 27 Februari 2016 tim Koalisi Persampahan Nasional, KPN, dan Walhi Jakarta mempresentasikan ide tersebut kepada staf Deputi I Urusan Infrastruktur dan Energi di Gd. Wantimpres. Satu hal utama menurut saya, yang menjadi kendala dalam pengembangan PLTSa adalah ketidaksesuaian antara disain teknis dan ketersediaan sampah. PLTSa yang diopeerasikan PT NOEI berkapasitas memanfaatkan sampah sebanyak dua ribu ton per hari, tetapi kenyataannya, sampah yang masuk ke dalam TPST Bantargebang sebanyak nyari tujuh ribu ton per hari. Hal ini saya pahami dari data yang saya himpun sejak 2014 silam , dan juga dari uraian oleh Douglas Manurung, Direktur pelaksana TPST Bantargebang dalam presentasi di KSP hari ini.
 





Sungguh mengherankan kenapa pemerintah tidak mau menengok model yang sudah ada, yaitu yang dioperasikan oleh PT. Navigat Organic Energy Indonesia (NOEI). Ini menimbulkan tanda Tanya saya: apa karena gagal, dan sulit mendapatkan dana CDM sehingga model PLTSa berbsais non-termal tak dihiraukan, ataukah ada bisnis besar di PLTSa berbasis termal? Itu titik utama yang saya singgung dalam acara presentasi model PLTSa non-termal di KSP.
 

Alhasil, dari presentasi itu tim KPN dan walhi Jakarta diminta oleh dua staf Deputi I KSP untuk menyusun usulan konsep dan uraiannya mengenai PLTSa.

Beberapa hari kemudian saya usulkan diskusi tatap-muka dengan menyampaikan pesan saya ke Group DM, BT, BS, RVT, AC
08/02/2016 19:34
Bung Douglas, apa kabar? Baik-baik, ya, saya harap... Saya pun begitu...  Shalom..!
Melalui efbe ini saya mengulang pertanyaan saya seusai presentasi kita di Gd. KSP/ samping Gd. Wantimpres. Kapan kita dapat berdiskusi dengan kawan-kawan Koalisi Persampahan Nasional. Mungkinkah dalam minggu ini?
Saya usulkan agenda diskusi adalah dua [2] hal saja, yaitu: 1] Tinjauan: seberapakah signifikan yang telah kita presentasikan di KSP/ samping Gd. Wantimpres 27 Januari yl. Dan, apa masih perlu kita melakukan penulisan usul kepada staf KSP? Dan seberapakah urgensinya, mengingat Ratas Kabinet Jokowi-JK akhir minggu lalu mengenai energi dari sampah, menurut saya info/pewartaannya sangat terbatas; sehingga perlu kita simak lanjut-mendalam dari internal KSP di Bina Graha.
Lalu, 2] Apa lagi yang perlu kita lakukan [lagi, dan lebih lanjut], jika kita bayangkan, bahwa status PT GTJ tidak mengalami perubahan yang nyata dari pihak Pemprov DKI Jkt?
Begitulah hal-hal yang saya sampaikan ke anda, juga teman-teman yang bersama-sama mempresentasi energi terbarukan dari sampah kepada staf Deputi I KSP.

Hari berjalan hari, minggu berjalan minggu ternyata tim KPN mlempem. Tak ada upaya menindak lanjuti dari presentasi di KSP karena kesibukan lapang tim KPN, sedangkan walhi Jakarta mempersiapkan acara peringatan hari Peduli sampah Nasional (HPSN) pada 21 Februari 2016.



KLHK, pengusulnya
Ketika tim KPN dan walhi Jakarta mengadakan audiensi dalam rangka penyampaian undangan untuk peringatan Hari Peduli Sampah Nasional (HPSN), kepada direktur Pengelolaan Sampah Ditjen Pengelolaan sampah, Limbah dan B3, Soedirman pada Rabu 17 Februari 2016 ternyata muncul pengakuan, bahwa dia mengusulkan adanya PLTSa berinsinerator…. Alamak..! itu komentarku, meskipun tim sama sekali tidak menyinggung tentang presentasi tim ke KSP dua minggu sebelumnya





Beberapa waktu pasca peringatan HPSN 21 Februari 2016 Walhi Jakarta mendengar informasi, bahwa ternyata Perpres tentang PLTSa berbasis teknologi insenerator malah telah ditandatangani oleh Presiden Jokowi pada 13 Februari 2016.







 

Koalisi Ajukan JR tentang Perpres No. 18 tahun 2016
Koalisi ornop pemeduli lingkungan mengajukan Tinjauan Juridis (Judicial Review) Perpres No. 16 tahun 2016 ke Mahkamah Agung pada tanggal 14 Juli 2016. Perlu dicatat, Walhi Jakarta melalui wakilnya, direktur eksekutif adalah salah satu anggota perorangan dalam pengajuan JR tersebut. Pada hari yang sama saya menghadiri undangan peresmian sekaligus rapat pleno pertama Dewan Pengarah dan pertimbangan Pengelolaan Sampah Nasional di Gedung Manggala Wanabhakti. Saya diminta oleh direktur eksekutif Walhi Jakarta Puput TD Putra untuk mendampingi Aron Chandra, sekaligus mendaftarkan bahwa wakil walhi Jakarta adalah dua (2) orang dalam dewan itu. Saya dalam kesempatan tidak menginformasikan bahwa Koalisi ornop mendaftarkan JR tentang Perpres No. 18 Tahun 2016 ke MA kepada rapat pleno Dewan Pengarah dan Pertimbangan Pengelolaan Sampah Nasional; nah… Walhi Jakarta menancapkan “dua kaki”, begitu bahasa gaulnya.





     




 

Rapat Pleno Dewan Pengarah dan Pertimbangan Pengelolaan sampah Nasional di Gd. Manggala Wanabhakti 14 Juli 2016.




KLHK (lagi) promo insenerator maunya lewat investasi Jepang
Ditjen PSLB3 KLHK ternyata, memang mengembangkan undangan investasi dari Jepang untuk pengembangan PLTSa di Indonesia.


Jumat, 30 September 2016
PLTSa Butuh Banyak Plastik, Bagaimana
Upaya Daur-ulang Bank Sampah & Indistri?

rangkuman Riza V. Tjahjadi
biotani@gmail.com, biotani2001@yahoo.com
Walhi Jakarta/ Biotani Bahari Indonesia   





Pembangkit Listrik Sampah berTekno Termal Bakal Kurangi Pendapatan Daur-Ulang

Plastik Bank Sampah?

Atau... Impor biji plastik bakal meningkat?
Kumpulan sampah plastik di bank-bank sampah dan industri daur-u;ang plastik bakal tergerus perolehannya jikalau pembangkit listrik bertenaga sampah (PLTSa) dengan teknologi termal (insinerasi) digenjot pengadaannya oleh pemerintah di Nusantara ini.

Kenapa?

Karena plastik adalah materi yang paling tinggi nilai panasnya, dibandingkan sampah lainnya.

Kapankah?
Saat ini belum banyak. Karena hanya tujuh yang diujicoba pembangunannya di
Indonesia melalui Perpres 18 Tahun 2016.

Tengoklah Peraturan Presiden No. 18 Tahun 2016 Tentang Percepatan Pembangunan Pembangkit Listrik Berbasis Sampah di Provinsi DKI Jakarta, Kota Tangerang, Kota Bandung, Kota Semarang, Kota Surakarta, Kota Surabaya dan Kota Makassar

ilustrasi saja karena model Indonesia masih belum jelas
Dalam seminar Penyelenggaraan Pengembangan Teknologi Termal untuk Sampah Sistem Pengelolaan Perkotaan Berbasis Teknologi Termal di Indonesia oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan di Jakarta, 22-23 September 2016 Prof Enri Damanhuri dari FTSL ITB mengungkapkan Teknologi Termal untuk Sampah Waste-to-Enegy (WtE) di Indonesia
• Sudah lama dikenal di Indonesia, namun karena belum pernah dibangun dan dioperasikan, Indonesia belum mempunyai pengalaman dan kemampuan sendiri untuk mengembangkan teknologi tersebut dalam kapasitas besar.
• Peraturan Presiden No. 18/2016 tentang percepatan pembangunan WtE untuk 7 kota di Indonesia (mulai tahun 2018), mudah-mudahan akan mempercepat kemampuan Indonesia mengembangkan dan mengoperasikan teknologi modern dalam pengolahan sampah.

ilustrasi saja karena model Indonesia masih belum jelas
Prof Enri Damanhuri menambahkan Fortum (Finlandia):
• berminat membangun PLTSa kisaran senilai USD 120-200-juta
• Mampu menghasilkan: 20 MW/1.000 ton
• Waktu pembangunan 2,5-3 tahun

Sampah BUKAN Batu Bara (1)
• Sampah kota:
– biasa diolah melalui teknologi termal (insinerasi),
– produk samping: uap panas yang bisa dimanfaatkan untuk menggerakkan turbin
listrik.
• Bila sasarannya pengolahan sampah: teknologi insinerasiyang paling tuntas memusnahkan sampah dalam waktu singkat
• Bila sasaran (tambahan) energi listrik: HARUS cukup jelas potensinya.
• Energi listrik dari WtE di Indonesia:
– Bagian dari skenario pencapaian target 35.000 MW
– Bagian dari income operator yang mempengaruhi penentuan tipping-fee.

Sampah BUKAN Batu Bara (2)
Batu bara:
• Nilai kalor: relatif seragam
• Potensi power: 80-85 MWe/1.000 ton
• Teknologi PLTU: sudah biasa diterapkan di Indonesia
• Lingkungan:
– Pencemaran udara: OK
– Penanganan abu fly ash: masih silang pendapat, walau sudah ada PP101/2014

Sampah:
• Nilai kalor: sangat bervariasi dan berfluktuasi
• Potensi power: rentang 7,5 Mwe sampai 30 Mwe per 1.000 ton
• Teknologi WtE Insinerasi: belum pernah diterapkan
• Lingkungan: instalasi kontroversial nomor 2 di dunia yang paling disorot setelah PLTNuklir, khususnya pencemaran udara

Potensi Enersi (1)
Variable utama:
• Nilai kalor (heating value, calorific value): Btu/lb,KJ/kg, Kkal/kg,….
– High heating value (HV): diukur di Laboratorium
– Low heating value (LHV): dihitung, utamanya karena kandungan air, kandungan
hidrogen, kadar abu
• Kandungan air:
– Air yang dikandung (= kadar air)
– Air yang ‘terperangkap’ diantara tumpukan sampah (tidak dijumpai pada
penyimpanan batu-bara)
– Tambah tinggi, tambah mengurangi potensi enersi
• Kadar abu: sisa pembakaran
– Tambah tinggi, tambah mengurangi potensi panas
– bila tanpa pengendali pencemarana yang baik, semua logam berat terbang ke udara

Potensi Enersi (2)
Sampah kota:
• Tersusun dari komponen sampah dengan potensi enersi sangat bervariasi, nilai kalor bervariasi:
– Bila plastik: 11.000 kkal/kg
– Bila siasa makanan: 4.000 kkal/kg

• Komponen sampah keberadaan dan porsinya bervariasi tergantung kapan diambil,
berasal dari lokasi mana, sedang ada kegiatan apa, sedang musim buah apa, dsb
……………………..
• Kandungan airnya sangat bervariasi tergantung dari jenis
komponennya apa, wadah penyimpanan dan pengangkutannya ditutup atau tidak,
sedang hujan atau tidak, ……….
• Bila diprediksi potensinya 20 MWe/1.000 ton, lalu kenyataannya hanya 8 MWe/1.000 ton ? terbayang betapa ‘kecewa berat’ fihak yang terkait.
   

Potensi Enersi (3)
PRESENTASI OLEH TEAM DARI JEPANG 22-9-2016
1) HITZ di Surabaya:
Calorific LHV = 1.500 kkal/ kg
Potensi: 7.8 Mwe/ 600 ton = 13 Mwe/1.000 ton (realistis)
2) JFE Bali
Kadar air 51% -------------------> Bila 70%
Calorific LHV = 1,800 kkal/kg ----> Maka 885 kkal/kg
Potensi: 17.4 Mwe/ 1.000 ton = 9Mwe/1.000 ton (realistis)
Bila potensinya 20 Mwe/ 1.000 ton. lalu kenyataannya hanya
10 Mwe/1.000 ton ---> terbayang betapa‘berat kecewa‘ fihak terkait.
Potensi Enersi (4)
• Amerika Serikat: teknologi WtE digunakan untuk memproses ±95.000 ton sampah
perhari (17% dari total sampah)
menghasilkan sekitar 2.500 MW listrik (Brien, 2007).
• Sampah negara industri: bisa sebesar 25 MWe/1.000 ton sampah akan dapat dicapai
• Sampah Indonesia mempunyai nilai kalor (LHV) hanya sekitar 1.000 kkal/kg (kadar air yang cukup tinggi, apalagi bila kertas dan plastik dikeluarkan untuk didaur-ulang.
Perhitungan moderat potensinya hanya sekitar 10 MW/1.000 ton sampah (atau bahkan kurang).










Penerapan Teknologi Insinerasi WtE
• Di Jepang, Taiwan, dan Singapura: contoh sukses penggunaan teknologi ini.
• Di India: teknologi ini mengalami kegagalan untuk berlanjut, antara lain karena:
– Karakteristik sampah yang kurang mendukung.
– ketidak mampuan mambayar/membiayai biaya operasi yang lengkap, karena
pendapatan dari jasa sarana ini tidak cukup untuk membayar pinjaman modal
pembangunannya, dan biaya operasi-pemeliharaan;
– kegagalan operasi dan pemeliharaan, termasuk tidak tersedianya pekerja yang terlatih;
– kelemahan dalam sistem manajemen;
– pengaturan aspek institusi yang belum memadai.
Tetapi kalau terus-menerus wacana, kapan lagi Indonesia ‘bebas’ sampah dan
mempunyai kesempatan menerapkan dan mempunyai pengalaman teknologi yang
‘canggih’
• Yang penting jangan ‘mengharap’ terlalu berlebihan pada energi yang dihasilkan
• Jangan lupa, prioritas pengendalian pencemaran udara. Indonesia belum punya
teknologinya.

Nah... Jangan biarkan pemangunan PLTSa berteknologi termal dibangun tanpa kita
kritisi dari setiap aspeknya.
lihat juga di http://biotaniindonesia.blogspot.com

--o0o---

baca juga
Empat Calon Investor Tertarik Bangun ITF
25th Juli 2016
JAKARTA- Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta segera membangun pengolahan
sampah terpadu atau Intermediate Treatment Facility (ITF) di sejumlah tempat. Kawasan
Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Bantar Gebang juga rencananya menjadi salah satu lokasi dibangunnya ITF.
Kepala Dinas Kebersihan DKI Jakarta, Isnawa Adji mengatakan, saat ini sudah ada empat
calon investor yang siap mengajukan diri melakukan pembangunan ITF. Studi kelayakannya
pun tengah dilakukan agar pembangunan bisa cepat dilakukan.
“Kami sedang siapkan tenaga ahlinya, baik pakar lingkungan, persampahan, kelistrikan dan
lainnya dalam melakukan kajian,” ujar Isnawa, kemarin.
Dikatakan Isnawa, kawasan TPST Bantar Gebang sendiri mempunyai gas metan yang bisa
dihasilkan menjadi tenaga listrik. Dari rencana pembangunan 18 watt saat ini baru terealisasi 1watt saja sehingga harus dioptimalkan.
“Memang pembangunan ITF juga nantinya akan dilakukan di Jakarta. Kami harap bisa segera dibangun untuk mengurangi sampah dari hulunya,” tandasnya.

Kepulauan Seribu
Selain itu, Dinas Kebersihan DKI Jakarta berencana akan mempercepat pembangunan ITF di 10 pulau permukiman di Kepulauan Seribu. Ditargetkan, kesepuluh ITF sudah beroperasi
secara maksimal mulai tahun 2017.
“Masih tahap perencanaan. Ini memang kapasitasnya kecil saja, sehari sekitar 4 sampai 6 ton saja,” ujar Ali Maulana Hakim, Wakil Kepala Dinas Kebersihan DKI Jakarta, kemarin .
Menurutnya, keberadaan ITF sudah cukup untuk menangani sampah di Pulau Seribu. Nantinya petugas hanya mengangkut sisa residu pembakaran saja untuk dibuang ke Bantargebang.
“Untuk kawasan pulau itu sampah sehari sekitar 20,1 ton. Jadi kalau ada ITF masing pulau
sangat bermanfaat,” katanya.
Saat ini pengadaan alat ITF sudah ada masuk kedalam e-katalog. Hanya pembangunan sarana lainnya yang belum ada dan direncanakan melalui proses lelang.”Kita harap maksimal awal tahun depan sudah bisa beroperasi. Saat ini masih terus dalam tahapan perencanaan,” tandasnya.

Sumber:beritajakarta.com
http://www.jakarta-propertindo.com/id/id/empat-calon-investor-tertarik-bangun-itf/


---




Guntingan Koran Kompas
 








Kesan akhir
Dari seluruh informasi berikut uraian ringkas di atas, maka saya hanya dapat menyatakan Walhi Jakarta. dari kepala saya, pemelopor untuk mempromosikan PLTSa berbasis non-termal/ non-insinerator, dengan mengajukan rujukan pembangkit listrik di TPST Bantargebang Bekasi Jawa Barat kepada Presiden RI Ir. Jokowi. Tetapi, nyatanya usulan itu terlambat, dan nyata bahwa pemerintah tidak mencadangkan atau memberikan partisipasi publik dalam perancangan model percepatan PLTSa untuk diujicobakan di tujuh kota di tanah air.

Khusus mengenai Peraturan Presiden No. 18 Tahun 2016 Tentang Percepatan Pembangunan Pembangkit Listrik Berbasis Sampah ternyata tidak diketahui jelas oleh lingkungan terdekat dalam Istana. Hal ini saya ketahui dari kunjungan tim KPN dan Walhi Jakarta ke KSP pada 27 Januari 2016, merupakan tahap final dari penerbitan perpres tersebut.

Tangerang 6 Maret 2017.

lihat juga, unggah saya Senin 6 Maret 2017, sore:




Lihat juga naskah yang sama di Slideshare, yang saya unggah Senin 6 Maret 2017 sore hari:



https://www.slideshare.net/biotani/promosikan-pltsa-noninsinerator-ke-jokowi-kpn-walhi-jakarta-terlambat















---o0o---




Arsip Blog