Minggu, 07 Desember 2014

mengindonesia pertanian biodinamika











MengIndonesiakan pertanian biodinamika dalam kasus lokal pasca penerbitan buku Nature & Farming










Oleh: Riza V. Tjahjadi
biotani@gmail.com









Informasi di bawah ini adalah kelanjutan kegiatan saya pasca penerbitan buku Nature and Farming (lihat info sebelumnya Rabu, 26 November 2014 Pertanian Biodinamika Menggeliat lagi Pertanian Biodinamika Menggeliat lagi ), dan juga sekaligus untuk menyongsong tahun internasional mengenai tanah pada 2015: The International Year of Soils.



 



Silahkan simak pandangan saya bertajuk Kenali Praktek Pertanian dan Tradisi Penggunaan Lahan, di bawah ini.







Dalam beberapa dekade belakangan ini kita mengetahui bahwa pekerjaan besar telah dilakukan oleh banyak pakar dari kalangan praktisi secara global untuk merekam dab sekaligus mengubah arah proses pembangunan dari pendekatan yang sifatnya “atas-bawah” (top-down) menjadi “bawah-atas” (bottom-up), alih-tehnologi menjadi membangun di dalam (endogenous) dan melalui proses yang partisipatoris. Metodologi telah berkembang, mulai dari cara sebagai turis pembangunan perdesaan (RDT), pemahaman perdesaan secara cepat (RRA), pembangunan tehnologi partisipatoris (PTD) sampai dengan cara pemahaman perdesaan secara partisipatif (PRA). Sebagai konsekuensinya, maka praktek pembangunan pertanian modern model Barat dituding sebagai sudah mandeg, Satu contoh, di antaranya, pertanian yang berorientasi kepada “ngrambet” atau “ngegulma” (weeding agriculture), dipandang banyak mengandung resiko, jika hanya bergantung kepada herbisida untuk pemusnah gulma.


Di antara semua upaya tersebut, terasakan, adanya satu aspek yang masih samar-samar diakui keberadaannya dalam pendekatan baru itu. Aspek itu, ialah proses-proses lokal guna mencapai pengetahuan tentang lingkungan hidup. Padaha; aspek itu sesungguhnya sangat bermakna dalam upaya mengenali apa yang dimaksud dengan pertanian dan praktek-praktek penggunaan lahan (land use) oleh penduduk desa. 



Beberapa rekan kita di belahan Utara mengungkapkan kegelisahannya, betapa mereka terkecoh dengan sendirinya, apabila tetap beranggapan, bahwa pengetahuan asli lokal itu telah paripurna (selesai), dan memperlakukannya hanya semata-mata sebagai suatu fakta (hard fact) belaka. Pengetahuan dan praktek lokal semestinya perlu dianalisis dan diverifikasi kembali, meskipun sebenarnya sebagian di antaranya sudah merupakan satu ilmu pengetahuan tersendiri.Misalnya, etno botani dan pengobatan tradisional sebagai disiplin ilmu tentang pengetahuan asli tradisional. Kesadaran tentang hal itu muncul di Utara, terutama pada beberapa kampus universitas Amerika Serikat - yang kemudian secara global – sebagai refleksi kritis terhadap makna 500 tahun sejarah kolonialisme (Columbus dan benua Amerika sebagai tonggaknya), dan adanya interaksi Utara-Selatan, serta paradigma keterkaitan antara lingkungan hidup dan pembangunan.


Di kalangan kita mengatakan, bahwa sistem–sistem pengetahuan asli meliputi perencanaan dalam penggunaan lahan, indikator astronomis dalam penggunaan lahan, praktek pertanian, peramalan cuaca, pengelolaan vegetasi asli, pengklasifikasian tanah, pendomestikasian dan pelestarian tanaman, pengendalaian hama dan penyakit, interaksi antara ternak dan tanaman. Kesehatan satwa dan kesuburannya, dan sebagainya.


Di Indonesia, contohnya, baru setapak saja kita mendekati puncak es, yang dimulai sejak 1985, dan catatannya lantas kita bukukan dengan judul Nature and Farming (PAN Indonesia, 1993). Namun masih banyak pekerjaan rumah. Kita belum tahu bagaimana sebenarnya pawang hujan, misalnya, berdialog dengan alam. Bagaimana penujum (peramal) memandang semesta dan waktu, umpamanya lagi. Bagaimana “pranata mangsa” pada satu kelompok masyarakat tertentu saat ini, dan apa pandangan dukun pertanian terhadap pembangunan pertanian modern? Bagaimana pula kita mendudukkan hal-hal – yang memang sudah lama hidup dan hadir bersisian dengan proses pembangunan modern itu – pada situasi dewasa ini? Bagaimana pula kesungguhan dan kemampuan kita melakukan hal itu, misalnya?

Kita sebenatrnya bukan sekadar tahu, melainkan sudah akrab dengan hal-hal itu dalam kehidupan sehari-hari. “Mistis, linuwih, santet” dan berbagai peristilahan lainnya. Namun sepatutnya kita bersedia dengan kesungguhan untuk mengenali kembali tentang cara-cara mengetahui (way of knowing), dan epistemologi serta pengetahuan lainnya, terutama ilmu-ilmu asli dari masyarakat yang menderita dalam proses perusakan oleh pembangunan modern, diremehkan, ataupun kesalahpahaman dari pemerintah dan kalangan akademis. Caranya bisa saja dengan pendekatan eksperimentasi agar kita dapat menjajaki tentang bagaimana dan dengan cara-cara apa pengetahuan asli itu dapat diketemukan kembali?






Itu adalah penggalan editorial yang saya tulis pada kalawarta Terompet Edisi 8/1994 = dua puluh tahun silam.



Nah, dari wacana dalam format editorial di atas, saya perlu ungkapkan pulam, bahwa Terompet, kalawarta PAN Indonesia – dengan dwi bahasa: Indonesia, dan bahasa Inggeris - menjadi salah satu media untuk verifikasi data dan info dari hasil pantauan terhadap praktek pertanian biodinamika.  





Perempuan tani asal Sumatera Barat, termasuk tiga orang dukun tani, dan petani perempuan muda asal Lampung Tengah hadir dalam pertemuan refleksi pertanian biodinamika di Kinali, dan Bukit Tinggi  pada 23-25 Mei 1996.





Contoh hasil pantauan lapang pertanian biodinamika saya tampilkan dalam kalawarta Terompet edisi bahasa Inggeris.


 



 

Ini juga


 




Adapun ajang lokasi pantauan adalah enam provinsi yang terkait dengan proyek PAN Indonesia (Sumatera Barat-Riau, Lampung, Jawa Barat, Kalimantan Timur, dan Sulawesi Selatan), plus kasus-kasus lokal sumbangan para pembaca Terompet – di antara kasus lokal di Nusa Tenggara Timur (NTT), Jawa Tengah, dan sebagainya.






 




Ajang lokasi nasional dan internasional untuk promosi pertanian biodinamika meliputi forum dalam lingkup Kementerian Negara Lingkungan Hidup, dan forum ornop internasional wilayah Asia Tenggara, Asia, dan global – di antaranya adalah COP II CBD, Konferensi Para Pihak mengenai Konvensi Keanekaragaman Hayati pada tahun 1995.
 





Gayatri, staf PAN Indonesia dan Dr. Vandana Siva dalam acara pertanian berkelanjutan diselenggarakan oleh PAN Asia & Pacific di Penang Malaysia 1994; fotonya dimuat di kalawarta Terompet PAN Indonesia.


Advokasi mengenai pertanian tradisional






Advokasi mengenai pertanian tradisional COP II CBD UNEP November 1995 di Jakarta

  


Dua orang dukun pertanian asal Sumatera Barat (tengah), mitra kerja saya hadirkan dalam sessi lokakarya samping COP II CBD UNEP November 1995 di Jakarta.

 


Tiga orang dukun pertanian asal Sumatera Barat, mitra kerja pasca sessi lokakarya samping COP II CBD UNEP November 1995 di Jakarta siap menuju lokasi sarasehan tani di Desa Lamajang Kab. Bandung.







 Dua orang dukun asal Sumbar (kiri-tengah), dan petani muda Dayak Paser asal Kalimantan Timur dalam sarasehan tani di Desa Lamajang Kab. Bandung November 1995.






Mengenai kesahihan atau validitas sistem pertanian dinamika pada masa perubahan iklim/ pemanasan global, maka hasil pantauan, maupun uji coba lapang menunjukkan adanya dua-tiga kali kelalaian manusiawi, dan juga tampilnya gelagat bercampurnya praktek pertanian biodinamika dan produk teknologi kotor/ racun kimiawi. Karenanya, di Sumatera barat satu obyek pantauan tersebut saya tinggalkan. Alasannya, sederhana, jika teknologi racun kimia tak bisa ditinggalkan, maka saya ucapkan selamat tinggal. Karena asumsinya pertanian biodinamika adalah sepenuhnya tanpa asupan kimia. Adapun pemakaian benih unggul nasional lama – tetapi didisain untuk membutuhkan kimia (pupuk, dan racun) masih dapat digantikan dengan benih unggul lokal, karena dalam program yang saya gulirkan di enam provinsi itu memiliki sarana pertemuan enam bulanan bagi seluruh staf lapang, dan perwakilan petanim yang di antaranya acaranya adalah tukar-menukar benih lokal yang digunakan oleh petani organis-tradisional di lokasi dari setiap perwakilan tersebut. Lambat laun benih unggul nasional lama digantikan dengan benih lokal petani.


Hal itu, karena pertanian biodinamikanya bercampur dengan pemakaian herbisida (racun kimia untuk pengendalian rumput). Namun, secara umum melakukan hal-hal yang kerangkamya saya uraikan di atas adalah hal yang menggairahkan, dan mendatangkan keasyikan tersendiri dengan kalangan petani kecil yang masih berkutat dengan praktek pertanian biodinamika..!

 

 


Ideng Enris (foto di atas) adalah pilihan saya untuk berkontribusi untuk turut menulis dalam bukunya terbitan UNEP tahun 1999 bertajuk Cultural and Spritual Values of Diversity yang disunting oleh alm. Darrel Adison Posey, Dalam buku itu artikel Ideng Enris yang dibantu oleh Sarmiah, dan saya sunting mendapat judul dari Posey: Cultivation of Dayak Pasir Adang Community East Kalimantan, yang masuk ke dalam Bab mengenai Traditional Agriculture and Soil Management.

 

Penggalan naskahnya

 

 



Dan ini bukunya
 






Pada 1992 saya berbagi pengalaman soal pertanian biodinamika dengan imbuhan akademis, yaitu tumpangsari yang saling menguntungkan. Ini saya ungkap dalam dua kesempatan melawat ke luar negri.
 


East Sussex Agustus 1992, dan








Nicaragua, Amerika tengah November 1992.










Tambahan
Informasi rinci dan lengkap terdapat dalam kalawarta Terompet PAN Indonesia versi Bahasa Indonesia,.dan versi Bahasa Inggeris. Selain itu terdapat pula dalam buku Organic Agriculture Movement, State Intervension, Indonesia –  A Journal (selected files of 20 years). Biotani Bahari Indonesia. 2012. Ini adalah versi e-book.











\



---o0o---






Arsip Blog