Kamis, 22 November 2012

Food Miles for eco-partial, iklan Layanan Masyarakat DNPI vs Kementan




Food Miles for eco-partial
iklan Layanan Masyarakat DNPI vs Kementan







Anjuran pemerintah agar pemakaian energi adalah lestari, dalam bentuk iklan, dibuka dengan diskusi soal borosnya energi yang digunakan untyuk mengangkut buah jeruk impor asal China diperbandujingkan dengan buah jeruk asal Pontianak Kalimantan Barat...

Dalam konteks pangan, cara pandang ini disebut dengan: Food  Miles (pangan bertempuh-jauh).. Itulah Iklan Layanan Masyarakat dari Dewan Nasional Perubahan Iklim.

'Tuk beda kepentingan pemerintah Iklan Layanan Masyarakat Kementerian Pertanian malahan sangat membanggakan ekspor produk sayuran dan buah-buahan ke Jepang, Timur Tengah... dst. Kalau tidak ekspor, maka bukan kebanggaan(?)

Nah, jika dipersandingkan, masing-masing mengusung kepentingan nasional, ya.... Dewan Nasional Perubahan Iklim: Jeruk Pontianak dibandingkan dengan jeruk impor asal China... Sedangkan Kementerian Pertanian:... Endak'lah... sayuran sudah kita ekspor ke... Jepang, Timur Tengah...

Lalu, dapatkah dikatakan: Jangan konsumsi pangan impor. tetapi marilah kita ekspor(?) pangan... Jangan impor buah (dari China) untuk hemat energi, dan tidak semakin membanyak gas buang dari sarana transportasi yang pada gilirannya memperparah gas rumah kaca, tetapi: "Sorry, ya, dengan konsep dan etos food miles, kita lanjutkan ekspor buah dan sayuran ke mancanegara..."

Aneh? Lucu? Begitukah?

eco-partial? Bukan... Ego-parsial, kata yang cocok, 'kale?

Nah, bagi promotor yang ambisi ekspor pangan organik? Silahkan bandingkan pula dengan pernyataan saya, ketika mengulas Kegagalan Go Organic 2010, lihat:

Jumat, 01 Oktober 2010. GO Organic 2010 failed, GO Organic 2010 Gagal
(...)
Berandai-andai lagi… Ekspor pangan organik? Sebagian realitas, ternyata masih mengandalkan lagi model VOC alias ekpor bahan mentah seperti jaman kolonial? Model ini, ternyata, masih berlangsung (Tjahjadi 2009). Ekspor pangan organik mengekor saja kepada “abang kandungnya tapi beda ibu”, yaitu ekspor komoditas hasil bumi semata-mata tanpa olah (raw materials)... Padahal ekspor hasil bumi pertanian konvensional saja sudah dikritik oleh Prof. Mochammad Maksum (2010). Tujuan ekspor? Masuk ke wilayah perdagangan ke Utara dengan rasa bangga? Mungkinkah model VOC ini akan memberikan siginifikansi terhadap neraca perdagangan Indonesia dan Uni Eropa, atau neraca perdagangan Indonesia dan Jepang?

Lalu selayaknya juga dipertanyakan, apakah penggagas Go Organic 2010 sudah mengkalkulasi adanya persoalan etos “food miles atau “Long trade routes” yang berkembang di Utara? Di sana sudah banyak kalangan masyarakat yang mengadopsi “food miles” sebagai pola anutan konsumsi pangan - yang sudah disebarkan oleh penganjur pangan organik kepada konsumen sejak tahun 2000-an (Lang, 2004: Food Wars: The Global Battle for Mouths). Atau, mari kita “cuekin” saja karena sudah muncul jawabannya bahwa ”food miles” dikatakan sebagai ”naïve method” oleh Capper et all (Demystifying The Environmental Sustainability of Food Production. Cornell Nutrition Conference, 2009).

Sekadar pengingat, silahkan baca juga pernyataan Posisi Jaker PO (2009) (…) 6) Keharusan melindungi Keanekaragam Hayati dan Kesehatan Ekosistem
Semua pangan yang sehat dan sistem-sistem pertanian adalah sepenuhnya bergantung kepada perlindungan terhadap dunia yang alami, dengan semua keberanekaragamannya. Kami memandang tak boleh adanya pertimbangan komersial dan perdagangan yang mengabaikan hal itu. Prinsip ini adalah mengindahkan kaidah menjaga jarak transportasi yang relatif pendek bagi bahan pangan dari sumbernya hingga ke piring makan (distance of food travels from farm to our plate) guna memperkecil peluang tercemarnya bahan pangan bagi kesehatan manusia maupun penambahan polusi udara, serta pencemaran lainnya bagi lingkungan hidup (Jaker PO, 2009).

http://biotaniindonesia.blogspot.com/2010/10/go-organic-2010-failed-go-organic-2010.html



Riza V. Tjahjadi

biotani@gmail.com



-o0o-






Senin, 15 Oktober 2012

Can Organic Farming Feed Us All? Globally, YES..! how about Indonesia?



In commemoration the World Food Day, 16 October 2012

Can Organic Farming Feed Us All?
Globally, YES..!
how about Indonesia?




Kindly remind to what I've said two years ago:


That there are actually even a sharp debate as always spoken of by the proponents of conventional agriculture - who rely on outside intake high and sophisticated - as well as public policy analysts. Which to contrast it puts into question: "Can organic farming feed the world?" That's the title and the main problem has always been a serious concern - among them: Nourman Bourlag (late), Robert Paarlberg, Foreign Policy Magazine (2010), but Brian Halweil (Worldwatch Institute, 2006, public debate: Can Organic Farming Feed Us All?), and the other contender, for example Anna Lappé (2010; See also: Global Food Security, May 2010: Industrial vs.. Organic Farming) actually says, "Yes. .! "

A clear answer "Yes ..!" It's based to (...) the genesis of a multi-year, multidisciplinary study to explore whether We Could, Indeed, feed the world with organic, sustainable methods of farming.

Contrast that formulated into a question I deliberately put here, because the Go Organic 2010's vision meant that Indonesia would contribute greatly to the world trading of organic food. How large supply of organic agricultural products of Indonesia into the world trade in organic food? Or that at the national level only, will be how much (percentage, or the quantitative amount) of the supply of organic food producers to the national food? For comparison, in the United States only in the year 2005 organic agriculture covers about 50 states that were certified. But the supply? Today there are more than 10.000 certified Organic Farmers Produce two percent of the U.S. food supply (Maria Colenso, How Organic Farming Works, nd).

See previous posts
Jumat, 01 Oktober 2010. GO Organic 2010 failed, GO Organic 2010 Gagal
also
06/11/2010
which Way fit for you? Organic Farm and Biotech Pertanian Organik dan bioteknologi




Illustration: Dewi Sri, a Goddes of fertility, symbol of ancient Jawanese.Repro photos








Turut memperingati Hari pangan Sedunia, 16 Oktober 2012
 

Can Organic Farming Feed Us All?
Globally, YES..! how about Indonesia?



silahkan simak pernyataan saya sebelumnya:

“Dapatkah pertanian organik memberi makan dunia?” Itu judul dan masalah pokok yang selalu menjadi perhatian serius – di antaranya Nourman Bourlag (alm), Robert Paarlberg, Foreign Policy Magazine (2010), tetapi Brian Halweil (Worldwatch Institute, 2006, dalam debat publik: Can Organic Farming Feed Us All?), dan para pendebat lainnya, contohnya Anna Lappé (2010; see also: Global Food Security, May 2010: Industrial vs. Organic Farming) justru mengatakan, ”Yes..!”.

Yang jelas jawaban ”Yes..!” itu berpangkal kepada (…) was the genesis of a multi-year, multidisciplinary study to explore whether we could, indeed, feed the world with organic, sustainable methods of farming.



silahkan lihat:
Jumat, 01 Oktober 2010
GO Organic 2010 failed, GO Organic 2010 Gagal
(versi Indonesia di bawah versi Inggris)
Jumat, 01 Oktober 2010. GO Organic 2010 sampai di mana? Realitas Jauh di bawah Target Melambung
lihat juga
Sabtu, 06 November 2010 which Way fit for you? Organic Farm and Biotech// Pertanian Organik dan bioteknologi

   





biotani@gmail.com



---o0o---

Kamis, 09 Agustus 2012

[bukan] Pertanian Organik; Rumah Kompos berbasis BBM fosil = B i a y a M a h a l?


















[bukan] Pertanian Organik

tapi Bansos APBN



Rumah Kompos berbasis BBM fosil = B i a y a  M a h a l ?






Hanya 7 (2 APPO, 5 rumah kompos) dari total 27 unit (2 APPO & 25 rumah kompos) di 14 provinsi yang mampu terpenuhi biaya operasionalnya secara mandiri/ swadaya.



Hasil  Pantauan lapang terhadap
Bansos Pertanian APBN,
fokusnya:  APPO & rumah kompos
14 provinsi di 25 kabupaten/kota:
23 unit rumah kompos, 2 unit APPO, plus
1 wawancara ke dinas tanaman pangan Sumenep
1 wawancara ke Ketua Gapoktan Sukadame





lihat juga di





Biotani & Bahari Indonesia + Follow Processing...
[Bukan] pertanian organik
by Biotani & Bahari Indonesia on Aug 09, 2012

Ringkasan hasil pantauan lapang terhadap Bansos Pertanian dalam APBN khususnya rumah kompos (UPPO, RPPO) dan APPO di 14 provinsi




biotani@gmail.com









-o0o-








Selasa, 17 Juli 2012

Compost House Far from Satisfying Farmers, a field monitoring, Indonesia

















Compost House (still) Far from Satisfying Farmers, a Field Monitoring, Indonesia



Rumah Kompos (masih) Jauh Puaskan Petani, Pantauan Lapang, Indonesia (bawah)





Riza V. Tjahjadi



Results of field monitoring toward the agricultural “Bansos” or social assistant budget scheme, with focus to APPO and home composting in 14 provinces in 25 districts/ cities administration: 25 home composting units, 2 units of APPO, plus an interview to the head of food production of food crop division of the ministry agriculture in “Kabupaten“/ district Sumenep, one interview to the Chair a ”Gapoktan” or a group of several farmers’ groups in Sukadame in Pandeglang.


It has been more than 3 years, I make the observation of both organic fertiliser subsidies, and home composting in which the ministry of agriculture has obsessed with ambitious target to build/ procure the compost house with amount 10,000 units by 2014. 


Observations of which I described it as a desk study article on this blogspot. In the first quarter of 2012 I stepped up to the field monitoring with the support of a grant titled Field monitoring to the state budget subsidy on greening agriculture fields through compost house, and lobby for further allocation budgeting. The following is a summary.



# Of total APPO and total home composting is monitored during the end of March until mid May 2012, it turns out, only one-third (30%) of the total 27 units (two APPO and 25 home composting) is capable to supply the needs of organic fertilisers in each growing season for local farmers' group manager.


# There are three home composting units not yet operational, although construction has long been completed West Aceh NAD province: 1) in Blang Beurandang Kecamatan Johan Pahlawan, 2) in Cot Darat in Kecamatan Samatiga, and 3) in the Kota Sorong or City of Sorong in Kecamatan Matalanagi, of District of Sorong Utara of the West Papua province.


# A home composting is not found in two “kabupaten“/ districts, namely Pandeglang in Banten province, and Sumenep in East Jawa province. In Pandeglang no realisation of (promised) government assistance to farmers' groups in the village of Sukasari, District Pulosari, Pandeglang – as compare to news reporting by Radar Banten daily newspaper on December 16, 2009. While the head of food production of food crop division of the ministry agriculture in Sumenep never knows/ heard of any plans/ targets UPPO development.


# Regarding the adequacy of the production of organic fertiliser and compost for the APPO and home composting show that only one-third (30%) of a total of 27 units (2 APPO and 25 home compost) that is able to meet demand on each growing season for farmers groups members. Most of the others are home composting, which turned out to be not able to adequately supply to the needs of every growing season for all members.

# Although still a small amount (30%) farmers who are able to fully meet the needs of organic fertilisers, but quite a lot of farmers who have judged that the quality of their production of organic fertiliser which is in conformity with what is received from the training. In fact, some have dared to claim that they produce organic fertilisers are better quality than/ as compared with the state-based subsidised of organic fertilisers,

Therefore, with rests on three things mentioned above, the procurement program of home composting within “Bansos Pertanian” or agriculture social assistant scheme should be reviewed thoroughly.



Conclusion

The Government, especially the Ministry of agriculture was not succeeded in realising the plan/procurement targets home compost in two (2) “kabupaten“/ district.


With the exception of the above, it can generally be said that the management of APPO and home composting can already be said to be good, and very beneficial to the farmer and their group as well as managers and beneficiaries, although even just a small Part of that has been able to meet the needs of members of each growing season. But recorded two (2) subject matter that is outside the control of farmers is home composting equipment that has not been handed over by the district administration of food crops of the ministry of agriculture since late 2011 the group without apparent, clear and precise reasons, but still in the warehouse of food crops division of ministry of agriculture (West Aceh, NAD province). And, the next, a group of farmers lack the management skills and capability to make compost although the compost house has had ready to be operationalised (in the city of Sorong, West Papua province) although it physically was completed in June 2011.


Moreover only one-third of the total 27 units (APPO and home composting) are monitored during end of March to mid May 2012 that is able to meet demand on organic fertilisers by each member of the farmers’ group in each growing season, on the other hand, access for another farmer who did not manage the APPO or compost house is made possible by some farmers' groups of managers, but the amount will not much they will get from the APPO and/ or home composting



It worthy to note:
Social assistance is the transfer of money or goods given to the public through the State Ministry / Institution (Government) and / or local governments to protect the public from the possibility of "social risk". The definition of social risk in this case is an event that could lead to potential social vulnerability are borne by individuals, families, groups and / or the community as a social crisis, economic crisis, political crisis, natural phenomena and natural disasters which, if not granted social assistance be worse off and can not live in a reasonable condition.

Social assistance has the following provisions: (i) can be directly given to the members of the community and / or community organizations (community groups), including non-governmental organizations and religious education, (ii) temporary or continuous, (iii) is intended to fund rehabilitation social, social protection, social security, social empowerment, poverty alleviation and disaster management, and ((iv) aimed at improving the level of well-being, quality, viability, and restore social functions in order to achieve self-reliance so that regardless of social risk.

Source: Government report on the implementation of Budget revenue and Expenditure of the State. The first half of fiscal year 2012. 1st Semester report, page IV-12. Ministry of Finance.


Bansos” agricultural work within the scope of the directorate general of the ministry of agriculture infrastructure and agriculture, particularly in the form bansos home composting: Home composting is a building that serves to process the waste products of the composting plant/ straw/ manure waste into organic fertilisers/ compost and is equipped with an organic fertiliser processing equipment (APPO), three-wheeled vehicles and MOL (local micro-organisms)

Source: Technical Guidelines For The Development Of Home Composting TA. 2011, pages 4-5. The Directorate Expansion and Land Management, Directorate General of Infrastructure and Means of agriculture, the Ministry of agriculture. January 2011. Also, kindly see: General Guidance Managing “Bansos”: Pedoman Umum Pengelolaan Bantuan Sosial, by Directorate General of Infrastructure and Means of agriculture, the Ministry of agriculture. 2011.
-

Photo title:

0-Cover Rukom English.jpg

Map Rukom Monitoring & Sumenep Pandeglang.jpg

Rukom 3 units not able been operationalised.jpg

Rukom surat ke DPR RI,BPK & KPK.jpg





Full report available by request & donation









Rumah Kompos (masih) Jauh Puaskan Petani, Pantauan Lapang, Indonesia



Riza V. Tjahjadi



Hasil Pantauan lapang terhadap Bansos Pertanian APBN, fokusnya: APPO dan rumah kompos di 14 provinsi di 25 kabupaten/kota: 25 unit rumah kompos, 2 unit APPO, plus 1 wawancara ke dinas tanaman pangan Sumenep, 1 wawancara ke Ketua Gapoktan Sukadame di Pandeglang.

Sudah lebih dari 3 tahun saya melakukan pengamatan terhadap subsidi pupuk organik, dan rumah kompos. Pengamatan itu di antaranya saya paparkan sebagai artikel desk study pada blogspot ini. Pada kwartal pertama tahun 2012 ini saya melangkah lanjut yaitu pantauan lapang dengan dukungan dana hibah bertajuk: Field monitoring to the state budget subsidy on greening agriculture fields through compost house, and lobby for further budgeting allocation. Berikut ini adalah ringkasannya.

Bansos Pertanian, khususnya pengadaan rumah kompos harus ditinjau-ulang

# Dari total APPO dan total rumah kompos yang dipantau selama Akhir Maret hingga medio Mei 2012, ternyata, hanya sepertiga (30%) dari total 27 unit (2 APPO dan 25 rumah kompos) yang kualifikasinya adalah mampu menyukupi kebutuhan pupuk organik pada setiap musim tanam bagi anggota kelompok tani pengelola setempat.

# Terdapat 3 rumah kompos belum beroperasi, walaupun konstruksi sudah lama selesai: Kabupaten Aceh Barat NAD: 1) Blang Beurandang Kec. Johan Pahlawan, dan, 2) Cot Darat Kec. Samatiga, 3) Kota Sorong, Matalanagi, Distrik Sorong Utara Papua Barat.

# Dua (2) kabupaten tidak diketemukan adanya rumah kompos, yaitu Kabupaten Pandeglang di Provinsi Banten, dan Kabupaten Sumenep di Provinsi Jawa Timur. Di Kabupaten Pandeglang tidak ada realisasi dari (janji) pemberian bantuan pemerintah kepada kelompok tani di Desa Sukasari, Kecamatan Pulosari, Kabupaten Pandeglang - sejak diwartakan harian Radar Banten tertanggal 16 Desember 2009. Sedangkan di Kabupetan Sumenep staf dinas tanaman pangan tidak pernah tahu/ mendengar adanya rencana/ target pembangunan UPPO.


# Mengenai kecukupan produksi pupuk organik APPO dan rumah kompos bagi anggota menunjukkan bahwa hanya sepertiga (30%) dari total 27 unit (2 APPO dan 25 rumah kompos) yang mampu menyukupi kebutuhan pupuk organik pada setiap musim tanam bagi anggota kelompok tani pengelola setempat. Sebagian besar lainnya adalah rumah kompos, yang ternyata tidak mampu menyukupi kebutuhan setiap musim tanam bagi anggotanya.

#  Meskipun masih sedikit jumlah (30%) kelompok tani yang sudah mampu sepenuhnya memenuhi kebutuhan pupuk organik, tetapi cukup banyak kelompok tani yang sudah menilai bahwa kualitas pupuk organik yang mereka produksi sudah sesuai dengan apa yang terima dari pelatihan. Bahkan beberapa sudah berani mengklaim, bahwa pupuk organik yang mereka produksi adalah lebih berkualitas daripada/dibandingkan dengan pupuk organik bersubsidi

#  Mengenai “alternatif” atas ketidakcukupan ketersediaan pupuk organik rumah kompos menunjukkan bahwa sebagian besar dari 13 kelompok tani kelompok tani pengelola rukom yaitu 5 kelompok tani tegas menyatakan kembali memakai ke pupuk kimia, sedangkan 5 kelompok tani tegas pula tetap bertanam dengan metode organik. Tetapi 3 kelompok tani pengelola lainnya mengaku bahwa kembali memakai pupuk kimia adalah opsi terakhir. Jika direkap lagi (Tabel 6), maka jumlah yang berkecenderungan kembali memakai pupuk kimia akan membesar. Yaitu kimia: 5 kelompok tani pengelola ditambah kelompok Lain-lain yang cenderung berkimia 2 plus oportunis (kimia opsi akhir) 3; total 10 kelompok tani pengelola. Yang tetap menerapkan organik sisanya, yaitu 5 kelompok tani pengelola APPO ataupun rumah kompos.



Karena itu, dengan berpijak pada tiga hal tersebut di atas, maka program Bansos Pertanian pengadaan rumah kompos harus ditinjau-ulang secara menyeluruh.




Photo title:

0-Cover Rukom English.jpg

Map Rukom Monitoring & Sumenep Pandeglang.jpg

Rukom 3 units not able been operationalised.jpg

Rukom surat ke DPR RI,BPK & KPK.jpg




Contoh lain:

Monday, February 27th, 2012 | Posted by Redaksi
Rumah Kompos di Karo Mubazir



Contoh lain lagi, adalah rumah kompos  Yayasan Danamon Peduli dengan pola CSR yang dibangun di Pasar Srogo Klaten Jawa Tengah.



Catatan mengenai Bantuan sosial:
4.2.1.7 Bantuan Sosial
Bantuan sosial adalah transfer uang atau barang yang diberikan kepada masyarakat melalui Kementerian Negara/Lembaga (Pemerintah) dan/atau pemerintah daerah guna melindungi masyarakat dari kemungkinan terjadinya “risiko sosial”. Yang dimaksud risiko sosial dalam hal ini adalah peristiwa yang dapat menimbulkan potensi terjadinya kerentanan sosial yang ditanggung oleh individu, keluarga, kelompok dan/atau masyarakat sebagai dampak krisis sosial, krisis ekonomi, krisis politik, fenomena alam dan bencana alam yang jika tidak diberikan bantuan sosial akan semakin terpuruk dan tidak dapat hidup dalam kondisi yang wajar.

Bantuan sosial memiliki ketentuan sebagai berikut: (i) dapat langsung diberikan kepada anggota masyarakat dan/atau lembaga kemasyarakatan (kelompok masyarakat) termasuk lembaga non-pemerintah bidang pendidikan dan keagamaan; (ii) bersifat sementara atau berkelanjutan; (iii) ditujukan untuk mendanai kegiatan rehabilitasi sosial, perlindungan sosial, jaminan sosial, pemberdayaan sosial, penanggulangan kemiskinan dan penanggulangan bencana; serta (iv) bertujuan untuk meningkatkan taraf kesejahteraan, kualitas, kelangsungan hidup, dan memulihkan fungsi sosial dalam rangka mencapai kemandirian sehingga terlepas dari risiko sosial.

Sumber: Laporan Pemerintah tentang Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Semester Pertama Tahun Anggaran 2012. Laporan Semester I APBN 2012, halaman IV-12.

Bansos pertanian dalam lingkup kerja direktorat jenderal prasarana dan sarana pertanian  kementerian pertanian, khususnya bansos pertanian yang berupa rumah kompos, maka pengertiannya adalah: 
Rumah kompos adalah bangunan yang berfungsi untuk memproses pengomposan sisa hasil tanaman/ jerami/ limbah kotoran ternak menjadi pupuk organik/ kompos dan dilengkapi dengan alat pengolah pupuk organik (APPO), kendaraan roda tiga dan MOL (mikro organisme lokal)

Sumber: Pedoman Teknis Pengembangan Rumah Kompos TA. 2011, Halaman 4-5. Direktorat Perluasan dan Pengelolaan Lahan, Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana pertanian, Kementerian Pertanian kementerian Pertanian.  Januari 2011. Simak juga: Pedoman Umum Pengelolaan Bantuan Sosial, oleh Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana pertanian, Kementerian Pertanian kementerian Pertanian.  



biotani@gmail.com



---o0o---


Kamis, 12 Juli 2012

Walhi Jakarta Cemari PNLH IX, duit tiket pswt gua ditilep Bagong











Walhi Jakarta Cemari PNLH IX, duit tiket pswt gua ditilep Bagong


Walhi Jakarta Cemari PNLH IX, duit tiket pswt gua ditilep Bagong


Walhi Jakarta Cemari PNLH IX, duit tiket pswt gua ditilep Bagong



Walhi Jakarta Cemari PNLH IX, duit tiket pswt gua ditilep Bagong









                                               Jakarta, 4 Juli 2012

Yth Eksekutif
Walhi Jakarta
dan
Pegiat Walhi


Ref.: Walhi Jakarta Cemari PNLH IX


Salam sejahtera,

    PNLH IX sudah nyaris 3 bulan berlalu, tetapi (oknum-oknum) Walhi Jakarta masih mencoreng namanya sendiri dalam pertemuan tersebut dan berlanjut hingga kini.

   Saya menyampaikan hal ini karena saya dan organisasi terkena dampak langsung dari keculasan oknum di eksekutif, dan kemudian di Dewan Daerah Walhi Jakarta. Pokok keculasan, yaitu:

1.    Dalam datar peserta Walhi Jakarta pada PNLH IX tercantum nama: DWI P, padahal orang yang namanya tertulis (lengkapnya: Dwi Djuang Prasyanto, SH) tidak berada di asrama Haji Balikpapan. Hal ini saya ketahui ketika saya datang untuk mengisi daftar perserta. Akibatnya saya hanya berstatus Peninjau, dan saya memandang tidak perlu berpartisipasi hingga usainya PNLH. Perlu dicatat, bahwa Eksekutif Walhi Jakarta telah diperingatkan oleh salah seorang Dewan Daerah, Bagong Suyoto, dalam rapat Walhi Jakarta di PNLH hari Minggu pagi 15 April 2012 di salah satu tempat dalam area PNLH, tetapi tidak ada tindak-lanjut untuk upaya pengubahan status saya menjadi peserta, maupun juga sekaligus upaya mengoreksi nama yang tidak ada orangnya dalam Daftar Resmi Peserta PNLH IX.

 

2.    Hingga saat ini saya belum menerima sepeserpun penggantian uang ongkos tiket pesawat terbang Jakarta - Balikpapan, meskipun telah dilakukan pembayaran tunai oleh Panitia PNLH IX. Hal ini terjadi karena, Eksekutif Walhi Jakarta mengganti ongkos tiket itu secara tunai; yaitu diserahkan kepada Bagong Suyoto (orang yang saya titipkan tiket untuk penggantian dari panitia), meskipun saya telah menyantumkan nama dan nomor rekening bank untuk penggantian ongkos tersebut. Ternyata sampai hari ini Bagong Suyoto telah menilep uang tersebut, yaitu tidak memberikan uang tersebut kepada saya dengan beberapa dalih. Seorang anggota Dewan Daerah Walhi Jakarta (AB) 18 Juni  telah saya mintakan tolong – via sms - untuk penyelesaian penilepan uang pengganti ongkos tiket pesawat udara, ternyata dia tidak memberikan tanggapan apapun.




      Dengan mengacu kepada dua (2) masalah di atas saya berharap agar eksekutif, dan kemudian di Dewan Daerah Walhi Jakarta sesegera mungkin menyelesaikannya kepada saya, dan juga Eksekutif Nasional (terkait dokumentasi resmi/ prosiding, dsb.).


    Demikian surat saya, atas nama PAN Indonesia,

    Atas tanggapan secepatnya saya ucapkan terima kasih.



Salam saya,


Riza V. Tjahjadi
--------------------------
Koodinator




cc: # Eknas Walhi
    # Pegiat lingkungan Walhi





biotani@gmail.com







-oo0oo-


Kamis, 05 April 2012

Indonesia, people power has gone...


















Indonesia, people power has gone...



People Power has gone ... over plans by the governing Democrat Party to raise subsidised fuel prices by 33 percent.


No more cohesiveness..!
the laborers/workers’ union
the university students

Together but not united

no more cohesiveness... Identity more important and/or didn't want to built in-group feeling.

front gate of parliament building Jakarta 30 March 2012



biotani@gmail.com




-o0o-

Sabtu, 11 Februari 2012

Jogja Organic..! Kindly declare, Sultan....My message via a crown princes GKR Pembayun




Jogja Organic..! Kindly declare, Sultan....My message via a crown princes GKR Pembayun













Jogja Organic..!
Kindly declare, Sultan....
My message via a crown princes GKR Pembayun

A declaration, entitled Bandararum Kulonprogo Declaration Kamis Pon 9 February 2012




Tolong titipkan pesan saya kepada Bapak... (Bapak atau Romo?) Yaitu... karena Pernyataan Saya tahun 1998 sudah dikutip oleh Bapak Anda dalam buku beliau tahun 2008... (sudah anda baca, 'kan?) bahwa Pertanian Organik adalah pertanian yang diidealkan, maka saya minta Bapak Anda memaklumatkan DIY Organik... ini nyusul Bali Organik. Permintaan ini nanti akan disusulkan dengan Deklarasi kami.


Jogja Organic. susul Bali Organic, titipkan pesan saya ke Sultan HB X melalui GKR Pembayun.... Itu pokok pembicaraan saya dengan GKR Pembayun di Balai Desa Banjararum Kec Kalibawang, Kulonprogo, Yogyakarta - disaksikan Ronny N (tengah)


Deklarasi kami akan disampaikan oleh Badan Pelaksana Jaker PO segera।




kilas-balik
Sri Sultan HamengkuBuwono X (2008) kutip pernyataan saya: Saatnya insentif maupun kredit bagi petani organik

Riza V. Tjahjadi
biotani@gmail.com

Sri Sultan Hamengkubuwono X (2008) mengutip pernyataan saya (RVT) untuk mengugkapkan mengenai:

Paradigma Politik Pertanian

Modernisasi pertanian kurang lebih tiga dasawarsa telah gagal mengangkat harga diri, martabat dan kesejahteraan petani; mayoritas penduduk Indonesia. Kini sudah saatnya Pemerintah mengakui hak-hak petani, seperti kebebasan menjual beras atau menyimpan gabah untuk benih.

Sudah saatnya sekarang ditegaskan bahwa petani diperbolehkan menanam padi jenis local. Sudah saatnya juga dipikirkan insentif maupun kredit bagi petani yang bertani organik, bukan hanya mempertahankan kredit usaha tani (KUT) yang notabene lebih banyak untuk pembelian pupuk dan racun hama. Demikian juga, hendaknya petani diberi kebebasan menentukan pilihan dan membentuk organisasi petani yang diperlukan untuk memperjuangkan kepentingan petani.

Melalui Sistem Pertanian Organik (SIPO) misalnya, kesuburan tanah akan bisa pulih sebab tanah pertanian selama ini dirusak oleh sistem pertanian yang memaksa petani menggunakan pupuk kimia dan pestisida yang telah ditentukan mereknya. Kerugian petani yang diakibatkan kerusakan tanah semakin diperparah oleh kebijakan-kebijakan yang akhirnya memangkas kemerdekaan petani, misalnya dengan keharusan penggunaan bibit padi (Tjahjadi, 1998). Hal.164-165.

Jumat, 09 September 2011 Sultan Hamengku Buwono X (2008) cited my statement: It’s time to grant incentives & farm credit to organic farmers
http://biotaniindonesia.blogspot
.







---o0o---

Arsip Blog