Konsep Carrying Capacity tidak diperlukan dalam pariwisata [berkelanjutan] berdurasi singkat di pulau kecil
oleh: Riza V. Tjahjadi
Walhi Jakarta/ Biotani Bahari IndonesiaDalam usulan pengajuan dana hibah untuk program Pengembangan Pariwisata Berkelanjutan yang diajukan oleh Sekolah Tinggi Pariwisata Sahid bermitra dengan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Jakarta – judul resminya Strategi Pengembangan Pariwisata Berkelanjutan (Sustainable Tourism) Kawasan Wisata Kepulauan Seribu Sebagai Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (23 Juni 2015) tercantum bahwa Carrying Capacity menjadi salah satu prinsip dalam pariwisata yang berdimensi berkelanjutan.
2.2.3. Carrying Capacity
Kapasitas adalah daya atau kapasitas perusahaan untuk menggunakan sumber daya yang diintegrasikan dengan tujuan untuk mencapat tujuan akhir yang diinginkan (Hitt, Ireland & Hoskisson et.al, 2007:112). Daya dukung mengantisipasi dampak negatif pengembangan pariwisata, maka perlu pendekatan pengelolaan pariwisata dimana tingkat kunjungan, kegiatan dan aktivitas wisatawan pada satu lokasi dikelola dengan batas-batas yang dapat diterima. Tidak semua lokasi di satu wilayah dapat diperlakukan sama untuk pengembangan pariwisata. Faktor kerentanan ekosistem beserta kelangkaan flora dan faunanya, ketahanan budaya lokal, serta luas kawasan wisata menjadi ukuran penting dalam menentukan batas kewajaran pengembangan sarana dan prasarana, jumlah pengunjung, aktivitas pendukung,serta jenis atraksi yang diperbolehkan dalam penyelenggaraan pariwisata (Departemen Kebudayaan dan Pariwisata & WWF Indonesia, 2009:7).
(hal 11-12)
Lebih lanjut, dan diperluas oleh STP Sahid:
Daya dukung (carrying capacity) merupakan suatu konsep yang mengukur tingkat penggunaan pengunjung terhadap terjaminnya keberlangsungan sebuah destinasi. Beberapa konsep daya dukung yang bermanfaat dalam perencanaan pariwisata, yaitu:
1) Management capacity, yaitu kemampuan jumlah wisatawan yang dapat dikelola oleh manajemen kawasan wisata tanpa menimbulkan masalah administratif, manajemen, ekonomis, serta pelayanan terhadap wisatawan.
2) Phisical capacity, yaitu kapasitas fisik termasuk sarana dan prasarana yang mampu mengakomodasi jumlah wisatawan tanpa menimbulkan masalah dari segi kelancaran wisatawan dalam menikmati kawasan wisata baik kualitas fisik maupun luasnya sarana dan prasarana.
3) Enviromental capacity, yaitu jumlah wisatawan yang dapat diakomodasi sehingga tidak menimbulkan kerusakan lingkungan dan ekosistem.
4) Economic capacity, jumlah wisatawan yang bisa didatangkan sebelum masyarakat lokal mulai merasakan masalah ekonomi yang ditimbulkan, misalnya kenaikan harga tanah dan rumah.
5) Social capacity, jumlah penduduk maksimal, dimana jumlah yang lebih banyak bisa menyebabkan kerusakan budaya yang sulit dipulihkan kembali.
6) Infrastructur capacity, jumlah wisatawan yang dapat diakomodasi oleh
infrastruktur suatu destinasi.
7) Perceptual capacity, jumlah orang yang bisa dilayani oleh suatu destinasi sebelum pengalaman berwisata berkurang (Dewi, 2011:110-112). (hal 12)
Carrying Capacity dalam khasanah batasan yang dikenal umum dapat disebut juga sebagai kemampuan lingkungan (ekosistem) dalam mendukung kehidupan semua makhluk yang ada di dalamnya secara berkelanjutan. Kalimat lainnya ialah Carrying Capacity atau daya dukung adalah jumlah maksimum individu yang dapat didukung atau dilayani oleh sumber daya yang ada di dalam suatu ekosistem.
Carrying capacity, menurut Harisman Simangunsong (2014) , dipengaruhi oleh tiga faktor:
1) jumlah sumber (makanan) yang tersedia di dalam ekosistem tersebut 2) jumlah populasi
3) jumlah sumber (makanan) yang dikonsumsi oleh setiap individu. Karenanya, carrying capacity suatu ekosistem akan mempengaruhi semua yang berada atau hidup di dalam ekosistem tersebut. Untuk tujuan memudahkan, batasan mengenai carrying capacity atau daya dukung dapat diilustrasikan dengan daya muat atau daya angkut pada mobil. Jika daya muat suatu mobil hanya untuk 6 orang, bagaimana jika mobil tersebut dipenuhi oleh 10 atau bahkan 15 orang?
Pada sisi lain terdapat formula tentang carrying capacity. Paul R. Ehrlich to develop the I = PAT equation[9]
I = P.A.T
where:
I is the impact on the environment resulting from consumption
P is the population number
A is the consumption per capita (affluence)
T is the technology factor
(Carrying capacity, From Wikipedia, the free encyclopedia)
Gambaran di atas tampak akan menjadi kurang bahkan tidak relevan ketika dikontekstualkan ke dalam dimensi pariwisata di Kepulauan Seribu dalam wilayah Provinsi DKI Jakarta. Karena ada beberapa alasan:
Kepulauan Seribu merupakan gugusan pulau-pulau kecil yang secara definif tidak memasukkan kerangka pemikiran carrying capacity; lihat Retraubun di dalam Tjahjadi 2007a .
Alex S.W. Retraubun, director small islands’ empowerment of departement fishery and maritime (2000) described typhology of small island in Indonesia.
a) An island with less or equal with 10.000 sq km, and with total population around 200.000 persons;
b) Ecologically separate with mainland island, have clear physical boundary, and separated from mainland habitat therefore have insular characteristic;
c) Small island mostly have tipical biodiversity and endemic with high value;
d) Water catchment area relately small therefore most surface waterflow and sediment directly runoff to the sea;
e) Small island community in term of social, economy and cultural perspectives are site-specific as to compare to mainland.
It can be added from three years-observation by BioTani Indonesia (between 2003 and to the end of January 2007)
f) Food consumption, mostly, food-based menus and provided with instant noodle when they go catch fish;
g) Hypertension are predominant in the body health of community members; as result of natrium containment on fish.(Tjahjadi, 2007a)
Dari gambaran di atas maka pulau kecil kecil rentan terhadap adanya suatu perubahan yang besar. Dalam hal perubahan besar, misalnya industri jasa pariwisata, maka kerentanan juga tak terhindarkan. Contohnya dalam hal ketersediaan, dan juga kualititas airnya. Di samping itu pada sisi atau perspektif ketahanan pangan tampak sangat jelas bahwa nyaris penduduk pulau kecil amat-sangat rentan terhadap ketersediaan pangannya karena seluruh bahan pangan (baca: beras, juga air minum) adalah sangat bergantung kepada
kepada pembelian: tunai atau utang ke pasar: lokal atau di pulau besar yang kepada pasokan dari pulau besar: Jawa atau beli di pulau besar. Riza V. Tjahjadi (2006) menemukan bahwa rentan rawan pangan adalah gambaran umum pulau kecil, dan salah satu pulau di Kepulauan Seribu warganya menyatakan bahwa penyebab kurang pangan adalah tidak ada uang, dan juga kekurangan uangL itu tu artinya daya mereka rendah, Namun, jelas, mereka bergantung kepada pembelian pangannya di pasar, yaitu pasokan dari pulau besar: Jawa, khususnya sebagai contoh (Tjahjadi, 2007b).
Gambar 1. Hubungan antar pulau: besar dan kecil
Ilustrasi di atas tidak akan valid jika dikontekstualkan carrying capacity dengan ilustrasi di bawah ini
Jika area ladang rumput seluas 100 meter hanya dapat menampung 2 ekor sapi, maka jika ada lebih dari 2 sapi, tentu akan terjadi overcapacity, atau ladang tersebut tidak dapat melayani seluruh sapi secara berkelanjutan. Misalkan, sumber makanan yang tersedia di ladang rumput tersebut dapat dikonsumsi untuk 2 hari untuk 2 sapi. Bagaimana jika ladang tersebut dihuni oleh 3 ekor sapi? Bagaimana dengan hari ke-2? Belum lagi jika di tingkat konsumsi sapi tersebut tidak merata - ada yang lebih tinggi dibandingkan sapi lainnya. Apakah yang akan terjadi?
Selain itu, yang utama dalam konteks pariwisata, maka pulau kecil menerima turis hanya dalam waktu singkat. Dari titik ini maka dapat digambarkan, bahwa karakternya adalah tingkat konsumsi pangan, termasuk air hanya terjadi ketika datangnya turis dalam waktu hanya beberapa hari/ malam. Pada titik ini akan muncul pertanyaan: berapakah batas kapasitas tampungnya (limited capacity)?
Pada konteks yang sama perlu diperhatikan pula pernyataan Alex Retraubun (2007). Retraubun said he wanted massive investment to come to the small islands, but was realistic about the challenges.
Pulau kecil jelas membutuhkan investasi besar tetapi menurut saya (RVT) kerentanan pulau kecil menjadi prasyarat dalam mendisain kebutuhan investasi itu sendiri dari luar pulau. Pendisain yang berwawasan nusantara, dan cinta bahari adalah utama, dan menjaga kelestarian pulau kecil lebih utama lagi. Tanpa dua hal itu, maka pendisain investasi atau pembangunan bagi pulau kecil hanya meniru pola pembangunan yang kontinental/ benua, dan mengingkari kenusantaraan Indonesia,
Intervensi dari atau minta ke pulau besar
Adanya tekanan dari turis – meskipun cuma dua hari satu malam - namun kebutuhan terhadap pangan, termasuk air minum tak terelakkan. Bayangkan: sekitar 200-300 orang sekali satu kapal angkut dari Kali Adem Jakarta utara ke salah satu pulau tujuan wisata, sebut saja, Pulau Pari; sebagaimana yang dikatakan oleh seorang pemandu wisata, Topa (2016) . Bahkan pada perkiraan total tercatat sekitar 2.000 orang menyeberang ke Kepulauan Seribu pada jelang Lebaran, minggu pertama Juli 2016. Dari jumlah itu, sekaligus memberikan gambaran situasi bahwa sekali turis datang naik kapal ke pulau kecil, maka tidak mungkinlah warga pulau itu menolak dengan alasan kamar homestay penuh, atau air tidak mencukupi bagi mereka semua, dsb. Walaupun Topa, si pemandu wisata itu tidak dapat menghitung berapa jumlah persisnya daya tampung Pulau Pari terhadap turis, namun kebutuhan itu dapat diatasi dengan masuknya bahan pangan dan juga air minum dar pulau besar. Meskipun bahan pangan lainnya: sayuran, dan buah-buahan sudah diproduksi setempat dalam jumlah amat kecil jumlahnya - umumnya untuk konsumsi keluarga sendiri atau bersama tetangganya. Karenanya secara umum tampaklah tingkat ketergantungan yang relatif tinggi terhadap pasokan pangan: utama, suplemen, snack dsb dari pulau besar, dan ketersediaan yang memadai mengenai moda angkutan laut dari dan ke pulau kecil.
Dari sisi ketersediaan asli pulau kecil adalah keindahan sebagai daya tarik, dan juga ketersediaan air non-minum. Di luar komponen carrying capacity adalah ketersediaan penginapan, dan peralatan lainnya bagi turis untuk menikmati keelokan alam daratan/ pesisir, maupun dasar air lautmya. Dan jangan dilupakan adalah timbulan sampah: organik maupun sampah plastik. Pada sisi ini yang dibutuhkan adalah kualitas, atau baku mutu dari ketersediaan asli pulau kecil yang bersangkutan, misalnya air bersih untuk mandi-cuci, dan sebagainya.
Simak saja penggalan komunikasi soal kualitas air bersih non-minum Pulau Pari.
Foto Pulau Pari di Kepulauan Seribu
April 8
Lian Ing
4/8, 2:53pm
Lian Ing
Pak Riza,boleh sya tanya...knapa gk boleh dibangun resort,vila atau apalah itu,bukankah bagus pak...?
Untuk P.Pari pertanyaannya.
Riza V. Tjahjadi
4/8, 3:04pm
Riza V. Tjahjadi
Pulau kecil itu rentan terhadap perubahan ekologis.. Bayangkan Pulau Bali sudah alami masalah serius mengenai keterersdiaan air tawar, dsb. Banyakkkklah
Riza V. Tjahjadi
4/8, 3:09pm
Riza V. Tjahjadi
Pulau Bali saja sudah krisis air bersih/ air minum, apalagi pulau kecil... Sekarang pun dengan banyaknya homestay sekitar 100an per pulau, dengan sekitar 200-300 wisatawan per hari Sabtu-Minggu sudah memberikan dampak air tidak bisa diminum langsung tp harus dimasak; airnya sudah "anta" bgt
Lian Ing
4/8, 3:13pm
Lian Ing
Ooh,pantas untk mandi ?? jg kurang enak di badan....
Shampo n sabun gk banyak busanya..jdi lengket dibadan.mereka terlalu hambur pake air tawarnya.
Riza V. Tjahjadi
4/8, 3:28pm
Riza V. Tjahjadi
Nahhh..! Itulah yang juga akan kami tata lagi bersama komunitas Pulau Pari dalam beberapa bulan mendatang :)
April 8
Lian Ing
4/8, 7:15pm
Lian Ing
Mudah2an sukses ya pak,& semoga makin banyak yg menyadari KELESTARIAN LINGKUNGAN ITU LEBIH BERHARGA DARI UANG,untk kepentingan anak cucu generasi selanjutnya.Sukses....
https://www.facebook.com/messages/lian.ing1
Dengan kualitas air seperti di atas, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah melakukan intervensi, yaitu dengan pengadaan dan pengoperasian air suling air laut menjadi air tawar disebut dengan istilah desalinisasi dengan melalui pompa air osmosis balik. Sistem osmose balik (Reverse Osmosis). Keistimewaan dari proses ini adalah mampu nyaring molekul yang lebih besar dari molekul air. Model pengolahan air asin/payau yang diuraikan pada tulisan ini adalah hasil rancangan tim Kelompok Air Bersih dengan kapasitas 7,5 - 10 m3/hari. Unit ini sudah dipasang di Kepulauan Seribu Jakarta Utara (Pulau Tidung, Pramuka dan Kelapa), di Palembang (Unit RO bergerak) dan di Cilacap Jawa Tengah.
Gambar 2. Pohon Komoditi Sistem Pengolahan Air Berdasarkan Kadar
Salinitas
Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Administrasi Kepulauan Seribu berharap, lima pulau yang menjadi prioritas lokasi pengolahan air laut menjadi air tawar dapat terealisasi tahun 2016 mendatang.
" Kita minta, Pulau Karya, Pulau Kelapa, Pulau Harapan, Pulau Tidung dan Pulau Untung Jawa harus jadi prioritas utama"
Bupati Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, Budi Utomo mengatakan, saat ini saluran listrik sudah tersambung di pompa air RO dan tinggal penambahan daya saja.
"Sesuai spesifikasinya, daya harus ditambah, karena kalau dulu untuk mengolah air baku, kini mengolah air laut jadi tawar," ujarnya, Selasa (20/10).
Beberapa pulau, kata Budi, telah siap mulai dari instalasi hingga peralatan, tinggal penyambungan daya listrik.
"Kita minta, Pulau Karya, Pulau Kelapa, Pulau Harapan, Pulau Tidung dan Pulau Untung Jawa harus jadi prioritas utama," katanya.
Sementara, terkait semakin berkurangnya kuantitas dan kualitas air baku (air tanah) yang diproduksi Reverse Osmosis (RO), Pemkab akan mengubah spesifikasi dari pengolahan air baku menjadi air tawar, menjadi pengolahan air laut menjadi air tawar (Berita Jakarta, 2015) .
Kesimpulan
1. Pulau kecil memiliki karakter rentan terhadap perubahan besar meskipun tidak dimasukkannya konsep Carrying Capacity dalam definisi, namun kerentannya merupakan prasyarat dalam mendisain, dan merencanakan suatu pembangunan di pulau tersebut.
2. Penduduk pulau kecil bahan pangan pokoknya, utamanya adalah beras, dan nyaris absolut bergantung kepada asupan dari pulau besar, meskipun bahan pangan lainnya: sayuran, dan buah-buahan sudah diproduksi setempat dalam jumlah amat kecil jumlah produksinya
3. Tekanan turis/ wisatawan terhadap pulau kecil biarpun berjangka waktu sangat pendek – dua hari semalam terhadap pulau kecil tidak dapat dikontekstualkan dengan konsep Carrying Capacity. Karena walaupun pulau kecil itu amat rentan terhadap perubahan masih tidak menimbulkan dampak negatif yang serius, terkecuali kebutuhan air cuci-mandi – dalam hal kuantitas maupun kualitasnya. Kebutuhan dasar lainnya, yaitu bahan pangan, dan air minum sudah didatangkan dari pulau besar. Namun timbulan sampah: plastik maupun organik merupakan masalah selama masa kedatangan turis berdurasi singkat.
4. Pengenalan, dan penerapan teknologi tepat guna akan sangat bermanfaat bagi kelestarian pulau kecil, khususnya dengan penerapan pompa osmosis-balik untuk membuat air tawar dari air laut (desalinisasi).
Saran Rekomendasi
1. Bahasan dan kesimpulan dari topik di atas tidak disertai angka, dan data yang akurat, karenanya besaran angka yang tepat sangat disarankan agar melalui survei untuk menunjang kesimpulan di atas,
Tangerang 25 Juli 2016.
Rujukan
PROPOSAL RISET. Program Bantuan Dana Riset Inovatif-Produktif Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (RISPRO LPDP) Judul Riset : Strategi Pengembangan Pariwisata Berkelanjutan (Sustainable Tourism) Kawasan Wisata Kepulauan Seribu Sebagai Kawasan Strategis Pariwisata Nasional Lembaga Pengelola Dana Pendidikan Kementerian Keuangan Tahun 2015.
Harisman Simangunsong (2014) Apa itu Carrying Capacity. Kompas.com 1 Mei 2014. Diakses 09 Juli 2016.
Carrying capacity, From Wikipedia, the free encyclopedia. Diakses 09 Juli 2016.
Riza V. Tjahjadi (2007a) Investing Right to Food initiatives; Instant Noodle, Migrant Workers and Small Island Community. IS HERE A RIGHT NOT TO BE HUNGER AND POOR? Re-thinking Continental-based develoment; In search of Human Right-based approaches to food development paradigm in archipelago. BioTani Indonesia. Jakarta July 2007.
Instant Noodle,Migrant Workers&Small island Community-2July2007
HAK ATAS PANGAN KOMUNITAS PULAU-PULAU KECIL. Gagasan Untuk Bekerja dan berbagi Kasih (limited circulation only). BioTani Indonesia. Jakarta, 4 Oktober 2007.
Hak-atas-Pangan-PulauKecil-GagasanKerja.Pdf
Riza V. Tjahjadi (2008) Developing Access of Local Initiatives of Small Islands Communities – Indonesia. Idea for grant making, a Keynote. BioTani Indonesia Foundation. Jakarta 6 March 2008.
EED-Keynote-proposed_BioTani -improved-RVT. Pdf
Life | Wed May 16, 2007 12:24am BST Related: ENVIRONMENT. Indonesia counts its islands before it's too late. PULAU AYER, INDONESIA | BY ED DAVIES
http://uk.reuters.com/article/environment-indonesia-islands-dc-idUKJAK7973020070515 Diakses 09 Juli 2016.
Komunikasi pribadi dengan Topa/Travel agent melalui BBM 09 Juli 2016.
Sebanyak 2000 orang menyeberang ke Pulau Seribu. Kompas online 5 Juli 2016, Diakses 20 Juli 2016.
Komunikasi pribadi dengan Lian Ing
https://www.facebook.com/messages/lian.ing1
Diakses 09 Juli 2016
Pengolahan Air Asin Atau Payau Dengan Sistem Osmosis Balik
http://www.kelair.bppt.go.id/Sitpa/Artikel/Ro/ro.html
Diakses 09 Juli 2016
Lima Pulau Jadi Lokasi Prioritas Pengolahan Air Laut
http://www.beritajakarta.com/read/18356/Lima_Pulau_Jadi_Lokasi_Prioritas_Pengolahan_Air_Laut#.V4CJWFIpqnw
Diakses 09 Juli 2016
biotani@gmail.com
---o0o---
Tidak ada komentar:
Posting Komentar